Situasi Memang Tidak Memungkinkan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Rubrik Asal Asul dalam harian ini, Minggu 29 November 1998, mengetengahkan sesuatu yang menarik. Tulisan berjudul “Orang Biasa Tidak Perlu Bingung” menunjukkan pada sebuah keadaan yang mewarnai kehidupan politik kita dewasa ini. Salah satu di antaranya adalah keadaan yang ditimbulkan oleh pernyataan dari beberapa orang yang berkumpul di Ciganjur beberapa waktu lalu.
“Deklarasi Ciganjur”, demikian menurut penulis rubrik tersebut, masih tampak dipenuhi oleh perhitungan tentang berbagai hal. Tidak jelas mana yang dimaksudkan: pesertanya, pernyataannya, atau situasi yang melatarbelakanginya. Hanya saja tampak ada kekecewaan kepada produk tersebut yang – sekali lagi, tidak jelas ditujukan pada tujuan, topik atau latar belakang pernyataan itu.
Di sini, yang menarik adalah kata “penuh perhitungan” dari pernyataan tersebut, yang dikeluhkan oleh Wimar Witoelar. Timbul pertanyaan dalam hati penulis, mungkinkah dilakukan sesuatu tanpa perhitungan, dan perhitungan dalam hal apa? Bukankah justru dalam saat-saat semacam inilah gerakan memerlukan perhitungan? Bukankah tindakan tanpa perhitungan justru akan mementahkan apa yang diperbuat oleh para mahasiswa sendiri? Benarkah mereka berhasil menghentikan Sidang Istimewa (SI) MPR? Jawabnya, tentu saja tidak. Apakah yang dilakukan di Taman Suropati berhasil menurunkan mantan Presiden Soeharto? Jawabnya, lagi-lagi tidak.
Segala gerak para mahasiswa, agaknya sudah kehilangan momentum karena tidak sesuai dengan perhitungan. Mereka memang berhasil menurunkan Soeharto dari kursi kepresidenan, tetapi mampukah mereka menyusun demokrasi setelah ia lengser keprabon? Sekali lagi, jawabnya tidak. Tanyakan pada orang-orang di daerah, apakah ada perubahan dalam cara-cara pemerintahan yang dilakukan? Yang pasti, lagi-lagi, jawabnya tidak. Perjuangan para mahasiswa, tampaknya hanya berganti-ganti isu dari waktu ke waktu tanpa ada kejelasan kapan akan berakhir dan bagaimana kesudahannya. Sasaran yang tampaknya rapuh, seperti ABRI dan Presiden Habibie, juga tampak tetap kukuh saja. Padahal, waktunya sudah lebih dari tiga bulan yang, pada tahun-tahun 1965 dan 1966 justru semakin menunjukkan kondisi sebaliknya, yakni kukuhnya mahasiswa.
Ini semua, hanyalah jeritan hati dari seorang pemerhati yang mencoba mendambakan hasil segera. Sebagai salah seorang pendiri Forum Demokrasi (Fordem), beberapa tahun yang lalu, pada dasarnya pembuat tulisan ini mengharapkan tercapainya tujuan para mahasiswa dengan segera. Tetapi sampai tulisan ini dibuat, lebih dari empat setengah bulan semenjak lengsernya Soeharto, belum tampak tanda-tanda keberhasilan para mahasiswa itu. Bukankah itu berarti, para mahasiswa di satu pihak dan pengambil inisiatif Ciganjur di lain pihak, sama-sama gagal dalam mencapai tujuan?
***
Salah satu tujuan dari demonstrasi para mahasiswa di gedung DPR/MPR adalah menggagalkan Sidang Istimewa (SI) MPR. Maka, dikerahkanlah mahasiswa dalam jumlah besar setiap hari. Jumlah itu diikuti oleh jumlah masyarakat yang lebih besar lagi, hingga jalan ke arah sana tertutup. Dengan tekanan yang demikian dahsyat itu, ternyata Sidang Istimewa tetap berhasil dilaksanakan dan menghasilkan keputusan-keputusan berupa sekian ketetapan (Tap/MPR) yang ada. Dalam pandangan penulis makalah ini, tujuan demonstrasi itu tak lain hanyalah untuk menggagalkan keputusan mengenai Pemilu 1999: supaya tidak jadi terlaksana. Karena, kalau pemilu ini terlaksana, hasilnya jelas ada pihak-pihak yang akan kalah. Karenanya, pemilu tidak seharusnya terlaksana dan semua pihak dikerahkan untuk tujuan tersebut. Bukankah ini sebuah pengkhianatan terhadap gagasan demokrasi, karena demokrasi tidak pernah bermula dari keadaan vakum.
Untuk tujuan itu, ada sejumlah yang digerakkan untuk menolak wewenang Sidang Istimewa dalam menetapkan tanggal berlakunya pemilu. Inilah yang membuat mengapa orang-orang seperti penulis menerima wewenang SI MPR: dari titik ini bermula pemilu yang akan datang, sebagai manifestasi demokrasi. Sebaliknya, menolak gagasan SI berarti menolak mulai berlakunya demokrasi di negeri ini. Bahwa, peraturan dan perundang-undangan harus sesuai dengan tujuan pemilu, jelas harus diperjuangkan melalui berbagai cara, termasuk tekanan-tekanan terhadap Golkar sebagai pembuat utama Undang- undang (UU) yang dimaksud.
Kalau ada pihak-pihak yang membakar dan mengompori untuk menghentikan SI, apa pun alasannya, berarti pengkhianatan terhadap demokrasi sebagai sebuah proses. Siapa gerangan yang mengompori untuk tidak setuju terhadap SI? Carilah sendiri jawabannya, tetapi jangan hanya batasi pada tokoh-tokoh pensiunan tentara. Merekalah yang sebenarnya bersalah, bukan mahasiswa ataupun masyarakat.
***
Ketika SI MPR berakhir, dengan bumbu Tragedi Semanggi yang menyayat hati, ada sebagian yang beralih sasaran dalam menggempur bekas Presiden Soeharto, hingga ke Taman Suropati. Di tempat itu, mereka dihadang oleh barisan tentara, hingga tidak dapat meneruskan perjalanan. Ketika pada suatu malam, penulis didatangi mahasiswa, ia memberikan jawaban yang sangat mengejutkan. Cari saja isu lain karena Pak Harto sudah memiliki jawaban atas tindakan saudara itu. Dengan caranya itu, bekas Presiden Soeharto akan menggagalkan tujuan Anda dan menyeretnya ke pengadilan. Bukankah ini suatu yang tragis, jika sampai hal itu terjadi? Setelah mendengarkan alasan-alasan penulis makalah ini, yang tidak disebutkan di sini, para mahasiswa itu kembali dengan berjanji akan mencari isu-isu lain.
Lagi-lagi, di sini kita berhadapan dengan pihak berbagai generasi yang membakar para mahasiswa untuk pergi ke Cendana, bukankah itu berarti gagalnya pemilu tersebut? Karena itu, para mahasiswa perlu dibakar untuk menghujat bekas presiden tersebut. Sasaran demonstrasi dipindahkan lagi ke Kejaksaan Agung dengan tujuan yang sama, mempergawat situasi, guna memungkinkan terjadinya keadaan bahaya perang (SOB). Ini berarti, lagi-lagi, gagalnya pemilu dan untuk itu para mahasiswa perlu dibakar dengan kompor terbesar.
Penulis makalah ini, menunjukkan fakta di atas, bukan untuk memandang ringan keinginan mahasiswa. Tetapi, angkatan penulis makalah ini tidak seharusnya hanya memuji semangat para mahasiswa belaka. Yang harus ditularkan oleh generasi pendahulu adalah perhitungan yang memadai. Sudahkan tenaga yang dikeluarkan sesuai hasil yang dicapai? Benarkah aksi yang dilakukan akan memenuhi tujuan para mahasiswa sendiri? Bukannya kompromi yang hanya mempayahkan para mahasiswa itu dalam perjuangan panjang.
***
Perjuangan menegakkan demokrasi bukanlah pekerjaan ringan. Juga, bukannya perjuangan untuk memenuhi ambisi perorangan atau kelompok. Demokrasi berarti pemerintahan oleh mereka yang didukung oleh rakyat terbanyak. Berarti, harus ada pihak yang mau mengalah karena memang kalah. Yang kalah ini, nantinya, akan menjadi pihak oposisi yang mengajari rakyat untuk melaksanakan perubahan-perubahan secara bertahap. Jadi, kalah atau menang, merupakan hal yang wajar sebagaimana kita lihat dalam praktek negara pelaksana demokrasi yang sesungguhnya. Bukankah pihak pemenang nantinya akan kalah juga, karena warga negara semakin terdidik?
Ketika partai komunis di Hongaria dikalahkan, beberapa tahun yang lalu, partai komunis dengan sabar menerima kenyataan tersebut. Namun, partai komunis itu akhirnya kembali memerintah, melalui pemilu yang sehat, jujur dan adil, karena ketidakmampuan partai yang semula mengalahkannya. Apa yang terjadi di Hongaria ini, sangatlah menarik untuk kita pelajari karena tampaknya akan terulang kembali di bekas negara Uni Soviet itu. Diktum demokrasi inilah, yang harus kita ingat: pergantian pemerintah adalah proses pergantian yang wajar dalam demokrasi.
Sekali lagi, kita tidak menafikan pentingnya arti gerakan mahasiswa. Yang kita dambakan adalah keadaan yang ideal: janganlah gerakan itu digunakan untuk tujuan tertentu yang justru akan menggagalkan pemilu.
Betapa tidak sempurnanya sekalipun, pemilu yang bebas merupakan persyaratan bagi demokrasi. Karenanya, undang-undang pemilu yang adil, jujur, bersih dan terbuka harus memperoleh perhatian yang khusus. Bukankah penggagalan terhadap proses pembuatan undang-undang itu sendiri lantas diikuti pembuatan undang-undang lainnya. Dan, inilah yang diupayakan sekuat mungkin yang, dalam pandangan penulis makalah ini, masih sangat dimungkinkan. Dengan kata lain, semuanya juga bergantung pada keadaan, dan bukannya pada kemauan.
Dengan mengemukakan hal-hal di atas, penulis makalah ini bermaksud memberitahukan kepada para mahasiswa, bahwa perhitungan yang panjang perlu mereka miliki. Bukankah penulis makalah ini juga turut menderita, karena terwujudnya demokrasi di negara kita lalu mundur beberapa tahun lagi? Ini memang menyakitkan, tetapi masih lebih baik daripada kembali ke titik nol: pemerintahan militer karena tindakan gegabah pada saat ini. Karenanya, penulis makalah ini mengusulkan penghentian Dwifungsi ABRI ditunda selama enam tahun. Bukankah pencapaian keseimbangan untuk sementara waktu, lebih baik dilaksanakan daripada kembali ke keadaan titik nol?
Dalam pandangan penulis makalah ini keadaan akan sama bahayanya jika dilakukan kegiatan-kegiatan tanpa perhitungan. Walhasil, penulis makalah ini, tidak setuju dengan upaya membakar mahasiswa untuk berbuat sesuatu yang tidak menguntungkan dalam jangka panjang. Lain halnya dengan spontanitas para mahasiswa pada bulan Mei 1998, yang tidak melayani kepentingan siapa pun. Itu pun masih disertai oleh berbagai kegiatan dari “kalangan dalam” yang berusaha merubuhkan bekas presiden yang malang itu. Jadi, bukannya murni perolehan para mahasiswa, melainkan hasil dari berbagai upaya. Ini berarti, kemungkinan upaya murni sebagian mahasiswa untuk menegakkan demokrasi akan memberikan hasil bersama upaya-upaya lain untuk menegakkan demokrasi dalam jangka panjang. Bukannya dengan mengompori para mahasiswa supaya mendobrak segala sesuatu tanpa perhitungan.
Bukankah jalan menuju demokrasi masih panjang dan penuh onak duri?