Supaya Sekadar Tahu Saja

Sumber Foto: https://kumparan.com/berita-terkini/5-faktor-penyebab-islam-berkembang-pesat-di-indonesia-1yxRgN2hGH6

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

DALAM sebuah pengajian di rumah Agus Miftah, yang oleh sementara kalangan dianggap sebagai petualang politik, penulis mengemukakan sebuah hal yang kiranya patut dibahas dalam tulisan ini. Sebenarnya hal ini telah penulis kemukakan baik dalam berbagai forum maupun dalam perembukan/pembahasan dengan berbagai pihak. Bahkan, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di negeri-negeri lain seperti dalam sebuah konferensi regional Timur Tengah di Beirut tahun lalu, yang diikuti oleh para utusan dari dua puluh negara. Dalam forum yang diselenggarakan oleh Konrad Adenauer Stiftung itu, penulis menyampaikan makalah mengenai asal-usul terorisme dalam Islam, terutama masa kini.

Penulis belum pernah memuatnya dalam sebuah tulisan, karena pembahasan itu memang tadinya diminta oleh sebuah lembaga dengan pembayaran cukup mahal. Baru sekarang, setelah ada pemberitahuan tertulis dari lembaga tersebut barulah penulis dapat mengemukakannya sebagai bagian dari pemikiran tertulis penulis sendiri. Dalam pendekatan historis/kesejarahan yang penulis lakukan, dapat ditelusuri bahwa sepanjang sejarah Islam, pendekatan kaum muslimin dapat dibagi menjadi dua macam pendekatan. Pertama adalah pendekatan kultural (budaya), sedangkan yang kedua adalah pendekatan kelembagaan (institusional).

Muhammadiyah, Nahdalatul ‘Ulama (NU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan masing-masing tahun 1912, 1926 dan 1973. Tetapi sebelum berdiri pada tahun-tahun tersebut, ketiga organisasi itu telah memiliki akar budaya yang jelas. Mula-mula dalam bentuk tradisi Islam klasik yang kita kenal sehari-hari. Gampangnya pelaksanaan lima rukun Islam dan enam rukun Iman. Tapi kemudian, dengan masuknya unsur-unsur budaya di kawasan yang bersangkutan, jadilah Islam tradisional dan pembaharuan dalam Islam (kini bahkan ada Islam liberal, seolah-olah ada Islam konservatif), bahkan, Jakarta News FM tiap malam menyiarkan rubrik Perspektif Islam Progresif.

Berdasarkan pandangan yang mengutamakan pendekatan budaya, selagi kulturnya masih ada, institusinya boleh berganti-ganti dan tetap hidup sebagai aliran. Artinya, institusi dapat berganti-ganti, namun budayanya yang justru menetap dan membuatnya bertahan. Inilah yang membuat penulis tidak merasa khawatir sekecil apapun akan kelestarian Islam di negeri kita. Bahkan, yang harus dipikirkan adalah bagaimana perkembangan kultur kaum muslimin tidak akan ‘diganggu’ sama sekali oleh terlalu banyak berlangsungnya institusionalisasi.

Sebuah organisasi Islam yang besar, sekarang seolah-olah kehilangan tradisinya dan disibukkan oleh institusionalisasi dan modernisasi dalam kelembagaannya. Sepintas lalu, kedudukan para ulama dan para pemimpin tradisional lainnya “digusur” oleh para ahli manajemen dan pakar organisasi lainnya. Celakanya, ‘para manajer’ organisasi itu banyak juga yang mengejar keuntungan/kekayaan pribadi melalui organisasi sehingga terkadang penulis mendengar keluhan-keluhan tentang hal itu.

Pendekatan kedua yaitu pendekatan kelembagaan/institusional. Pendekatan ini melihat Islam sebagai alternatif terhadap ‘faham-faham lain’, baik yang bersifat spiritual maupun yang berdasarkan materialisme. Mereka melihat Islam terjepit dan terdesak di mana-mana, umumnya oleh para ‘imperialis’ maupun oleh peradaban Barat. Karena itu, mereka mencoba ‘mempertahankan Islam’ dari bahaya-bahaya yang mengancam.

Mereka lalu ‘mempertahankan Islam’ dari berbagai ‘peperangan pikiran’ (al-ghazwu al-fikri) yang mengancamnya. Mereka mempertahankan Islam dengan apa yang mereka punyai termasuk dengan merakit bom, seperti Amrozi dua tahunan yang lampau. Padahal, tiap tahun lebih dari 100 ribu orang muslim dari seluruh penjuru dunia belajar di negara-negara berindustri maju. Di sana mereka tidak hanya belajar pengetahuan modern dan teknologi maju, tetapi juga mereka menghirup budaya modern yang kebanyakan berwajah materialistik.

Dengan demikian, menurut pandangan penulis, terorisme adalah perkembangan yang tidak sama antara berbagai pihak di kalangan muslimin. Ini belum lagi kalau ‘didukung oleh pendekatan kaum muslimin sendiri terhadap berbagai tantangan. Adakalanya, ‘ancaman dari luar’ itu dapat dengan mudah digambarkan oleh orang-orang yang saling berbeda tapi memiliki tradisi bermacam-macam. Dan tidak selamanya para penganut ‘pelestarian institusional’ itu menjadi kaum fundamentalis.

Untuk dapat memperbaikinya, diperlukan upaya melakukan pendidikan kembali (re-edukasi) di kalangan kaum muslimin di mana-mana. Tulisan ini pun adalah bagian dari proses re-edukasi tersebut. Sebuah keberanian moral diperlukan untuk memimpin upaya re-edukasi tersebut, walaupun ‘meninggalkan Islam’ akan ditudingkan kepadanya. Tetapi, bagaimanapun juga proses seperti itu harus segera dimulai.

Salah satu aspek yang penting dalam hal ini adalah hubungan antaragama. Haruskah ia konfrontantif, atau setidak-tidaknya memandang agama-agama lain tidak mampunyai kebenaran sama sekali? Ataukah hubungan itu bersifat komplementer, dalam arti dicari persamaan-persamaan di antara berbagai agama dengan tidak menonjolkan perbedaan-perbedaan yang ada?

Kalau kita memang mengambil pendekatan institusional maka dengan sendirinya kita mudah merasa agama kita berada dalam kedudukan terancam oleh lembaga-lembaga agama yang lain. Padahal, yang menentang Islam sebagai perangkat rohani adalah materialisme yang akhirnya berujung pada teknologi dan pengetahuan modern Namun, sebenarnya agama Islam memiliki kekuatannya sendiri, untuk menghadapi tantangan-tantangan itu. Ambil saja contoh, bagaimana sekarang ‘kesadaran beragama’ telah begitu rata berkembang di masyarakat kita. Yang menjadi masalah bagi mereka yang pesimis, adalah pertanyaan: dapatkah kesadaran seperti itu bertahan lama dan hidup subur?

Jawaban atas pertanyaan itu dapat dilihat dalam dua hal. Haruskah kita melihat agama berfungsi penuh dalam kehidupan yang secara berseloroh diungkapkan dengan kalimat lain, yaitu sesuatu yang bersifat maksimal pada saat ini?

Jawaban lain adalah bahwa agama harus didekati secara parsial, artinya keadaan minimal pun harus diterima sebagai salah satu tahapan menuju kepada kesempurnaan. Apa yang diperbuat Sultan Agung Hanjokrokusumo dari Wangsa Mataram di abad ketujuhbelas masehi, adalah contoh yang tepat dalam hal ini. Ia hanya ‘mengislamkan’ bangsa Jawa dalam dua hal: menetapkan kalender atau penanggalan dan menetapkan fiqh/hukum Islam dalam perkawinan, perceraian, rujuk dan pembagian warisan. Itupun, kalendernya dinamai tahun Sakka, sedangkan nama itu sendiri berasal dari zaman pra-Islam. la menolak anggapan bahwa wayang dan sebagainya bertentangan dengan Islam. Baginya, wayang adalah budaya daerah yang dapat dilestarikan dan tidak perlu dipertentangkan dengan agama tersebut.

Penulis menyampaikan masalah ini di hadapan rapat kerja regional Timur Tengah di Beirut tahun lalu. Kemudian peserta bernama Ibu Shaliha dari Turki bertanya: ia menyaksikan teman-temannya yang berjumlah tiga puluh tujuh orang mati terbakar di sebuah hotel kecil di depan tempat ia bekerja. Pembakaran itu terjadi, karena rakyat ‘dibakar’ oleh seorang mubaligh lokal, karena seminar yang diikutinya membahas sekularisme di Turki. Sejak itu, sudah sebelas tahun ia tinggal di Sivas dan tidak kembali ke Jerman, tempat kelahirannya. Ia takut ditanya adakah Islam agama yang toleran? Karena itu tulisan-tulisannya di media Jerman dikirimkannya perpos sejak sebelas tahun yang lalu.

Penulis menjawab, dalam Islam dikenal adanya dua macam pengetahuan, yaitu sekadar tabu (to know) saja atau pengertian (understanding), yang awal dinamai ma’arif dan yang kedua Ilm (pelakunya di sebuat ‘arif dan alim).

Betapa banyak hal-hal tragis/menyedihkan terjadi karena manusia tidak dapat membedakan antara mengetahui dan mengerti akan perjalanan hidup. Karena itu, atas nama agama Islam dilakukan tindak kekerasan. Padahal, perbuatan itu hanya dapat dibenarkan kalau orang-orang Islam diusir dari rumah mereka (Idza ukhriju min dfiyahrihim). Prinsip fiqh ini jarang diketahui orang sehingga banyak terjadi tindak kekerasan di kalangan mereka. Sebenarnya, hal ini tidak perlu terjadi jika tidak ada proses pendangkalan agama dalam sejarah Islam sendiri. Karenanya, perlu dilakukan juga pendidikan ulang (re-eduksi) di kalangan mereka.

Tentu saja, hal itu tidak perlu harus melalui pengajaran di sekolah, karena upaya menerangkan Islam pada khalayak ramai dapat digunakan untuk maksud di atas. Di sini kita lihat, ada proses melestarikan dan membuang, yang lumrah saja berlangsung dalam sejarah manusia, bukan?