Susu Kerbau Dibilang Susu Sapi
Oleh: K.H Abdurrahman Wahid
PADA tanggal 1 Oktober 2004 malam, penulis berangkat ke Korea Selatan. Keberangkatan itu untuk mengikuti konfokasi para pemimpin dunia yang diselenggarakan di Seoul. Setelah semalam di perjalanan, penulis sampai di ibu kota Korea Selatan itu, dan besok paginya (3 Oktober 2004) menyampaikan pidato di hadapan forum tersebut. Penulis menyatakan, gagasan menghimpun kekuatan beragam untuk mencapai perdamaian dunia, haruslah diimbangi oleh kemampuan memahami alur-alur kekuatan besar yang ada secara global saat ini. Penulis melihat dua buah alur utama ‘menguasai’ keterlibatan semua pihak, dan karenanya tidak dapat diabaikan.
Pertama, adalah pemikiran ideologis tanpa Tuhan, yang sekarang dipimpin oleh Republik Rakyat Cina yang semula adalah ideologi komunis. Kedua, adalah ideologi demokratik yang tadinya berasal dari nilai-nilai Kristiani. Namun, nilai-nilai itu dikuasai oleh pemikiran materialistik juga.
Alur kedua itu juga terpecah menjadi dua. Pertama, demokrasi yang bersendikan nilai-nilai kaum Protestan (lebih dikenal dengan sebutan nilai-nilai WASP–White Anglo Saxon Protestant) yang dipimpin Presiden George Walker Bush Jr dari AS. Kedua, bertumpu pada nilai-nilai agama Katolik di bawah pimpinan Sri Paus. Saat ini terutama berkembang di dua buah negara dengan mayoritas penduduk orang-orang Katolik, Jerman dan Perancis, Kedua macam demokrasi dengan tumpuan berbeda-beda itu, rasa-rasanya pantas dimasukkan ke sebuah pola, yang semula berintikan nilai-nilai Kristiani, namun sekarang telah menjadi faham sekuler yang berwatak materialistik, namun tetap mengaku bersandar kepada nilai-nilai Kristiani. Tentu saja, cara penulis melakukan pembagian itu akan banyak ditentang orang, namun biarlah sejarah yang akan memberikan penilaian nanti setelah terjadi polemik yang berkepanjangan.
Nah, tentu saja ada tempat bagi alur ketiga, yaitu berbagai pemikiran dan pandangan yang bersumber pada agama-agama yang berkembang di Asia, termasuk berbagai pandangan Kristiani. Ini bukan masalah membenarkan atau menyangkal apa yang kita anggap sebagai ‘kenyataan sejarah’ di masyarakat-masyarakat Asia, termasuk faham-faham yang berasal dari spiritualitas Kristiani di Asia, yang justru menerima keragaman sebagai sesuatu yang memperkaya agama tersebut. Lihat saja bagaimana gereja Asia yang diperkaya oleh berbagai perkembangan lokal. Dapat diambil sebagai contoh, bagaimana sekarang gamelan juga dapat menjadi bagian dari Liturgi Gereja. Demikian juga agama Islam dengan Yahudi (Judaisme), yang harus memikul beban kesejarahan sebagai sebuah faham yang berada di benua tersebut. Dalam hal ini, antara Islam dan agama tersebut harus ada perdamaian yang langgeng, bukannya pertentangan terus-menerus.
Penulis tidak tahu, apakah pembagian yang dilakukann itu diterima oleh sidang, walaupun sewaktu keluar dari sidang, penulis banyak didukung oleh teman-teman yang mengikuti forum. Mengapa? Karena selesai berpidato, penulis langsung terus ke lapangan terbang Incheon, yang terletak lima puluh kilometer dari Seoul. Maklumlah, penulis harus mengejar pesawat Korean Airways, yang berangkat dari Incheon jam 13.00. Penulis mengejar sebuah acara yang direncanakan penulis hadiri di Munchen, Jerman. Untuk bertemu dengan Wakil Menteri Pertahanan AS Paul D Wolfowitz bersama-sama dengan Dato’ Anwar Ibrahim dari Malaysia. Anwar baru saja menjalani bedah punggung, setelah ditahan di penjara Kuala Lumpur selama enam tahun. Penulis memperkirakan ia akan menjadi tokoh kunci dalam perkembangan dunia Islam.
Pada saat ini terasa, bahwa ‘Dunia Islam’ tampak sedang berada di persimpangan jalan. Antara lain hal itu terlihat dari besarnya arus menunjukkan atau memperagakan kemampuan kaum muslimin di berbagai bidang. Tampak bahwa cukup besar keinginan orang-orang muda muslimin, berbuat dengan sungguh-sungguh untuk menunjukkan bahwa Islam dapat menjadi motor kehidupan secara formal. Artinya mereka tidak menginginkan ‘Negara Islam’ sebagai sesuatu yang bersikap resmi, melainkan ingin memperagakan Islam sebagai jalan hidup terbaik bagi umat manusia yang tengah mengalami krisis di berbagai bidang. Contoh terbaik dalam hal ini adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mendadak sontak menjadi parpol yang harus diperhitungkan dalam perpolitikan Indonesia. Tentu saja perkembangan seperti ini harus diperhatikan dan diperhitungkan oleh siapapun.
Kebangkitan seperti itu, adalah sesuatu yang tentu saja dapat membuat ‘Dunia Islam’ bertabrakan dengan faham-faham lain, dan menjadi tugas bagi para tokoh muslimin untuk sejauh mungkin mempertautkan antara berbagai pemikiran dan pandangan itu. Di sinilah terletak posisi istimewa dari tokoh-tokoh seperti Anwar Ibrahim. Ia harus meringkuk di penjara selama enam tahun, setelah itupun ia masih harus mengendalikan diri dari dunia politik, karena Majelis Hakim di Kuala Lumpur belum menyatakan ia diperkenankan aktif dalam politik. Maka masih menjadi pertanyaan apakah ia akan memilih aktivitas Lembaga Swadaya Masyarakat (ISM), ataukah menunggu perkenaan pengadilan untuk aktif kembali dalam bidang politik? Karena posisinya yang unik itu, Anwar Ibrahim dapat saja menjadi ‘juru penengah’ antara berbagai pandangan dan pemikiran, atau ia justru terlibat dalam pertentangan-pertentangan yang baru.
Karena itulah, penulis beranggapan pertemuan Paul D Wolfowitz dan Anwar Ibrahim sangat penting. Bahwa penulis turut serta dalam pertemuan itu, juga menjadikannya sesuatu yang bernilai tinggi. Ini rupanya dimengerti sepenuhnya oleh Paul Wolfowitz, hingga ia datang dengan pesawat khusus ke Munchen dan kembali lagi ke Washington DC, setelah bertemu berdua dengan Anwar Ibrahim dan kemudian bertiga dengan penulis. Penulis dan Paul Wolfowitz sama-sama beranggapan, bahwa posisi Anwar Ibrahim, seperti Saad al-Din Ibrahim, Sekjen Muntada Al-Fikr Al-‘ARabi (Klub Pemikiran Arab), yang meringkuk bertahun-tahun di penjara Kairo, Mesir, harus dijaga sebagai salah satu tokoh muslim moderat. Di lingkungan para pemimpin muslim, posisi seperti itu tidak dapat diisi oleh orang lain yang tidak memiliki latar belakang yang tepat.
Setibanya di Cengkareng, penulis langsung menghadapi para wartawan dan Istiqomah, ayah dan suami Istiqomah dari Banyuwangi bersama dengan Bupati Banyuwangi. Dengan terus terang, penulis menyatakan bahwa ia baru ‘berbuat sesuatu’ yang sangat sederhana: wawancara dengan televisi berbahasa Arab Al-Jazeera, dalam wawancara tersebut ia menyatakan bahwa harus diketahui lebih dahulu kelompok mana yang menyanderanya, apa motifnya dan sebagainya. Ada kemungkinan keterangan penulis bahwa Istiqomah adalah seorang Indonesia, juga mendorong mereka untuk memerdekakannya, namun dapat juga terjadi bahwa pidato Megawati Soekarnoputri di layar televisi yang sama, yang menggerakkan’ para penyandera itu untuk membebaskan Istiqomah dan Casingkem. Jadi belum jelas apa alasan yang sebenarnya terjadi, sehingga belum dapat dikemukakan hal itu dengan pasti.
Apapun alasan pembebasan Istiqomah dan Casingkem, namun dari peristiwa itu telah menunjukkan adanya keruwetan sejarah untuk membukukan apa yang sebenarnya terjadi. Di sinilah terletak pentingnya diperhatikan sumber-sumber daya manusia (SDM). Menjadi tugas sejarah untuk menampilkan pandangan-pandangan dan pemikiran orang-orang kecil seperti itu, yang sering tidak diketahui oleh orang lain.
Bahwa penulis dianggap melakukan sesuatu yang berarti untuk pembebasan mereka, sebenarnya itu adalah ‘bagaikan menganggap susu kerbau adalah susu sapi’, salah atau benarnya anggapan itu adalah kemudian hari yang akan dinilai orang. Juga sama halnya dengan anggapan penulis, bahwa hasil-hasil Pemilu tahun 2004, adalah sesuatu yang tidak dapat diterima karena ia cacat hukum. Bukankah Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melaku kan lima buah pelanggaran terhadap empat undang-undang, tanpa ada seorangpun yang memprotes hal itu? Bukankah mudah kita harus bertindak jujur, walaupun sangat sulit melaksanakannya, bukan?