Tasawuf dan Kebatinan/Kejawen
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam perjalanan udara dari Kairo ke Abuja, ibu kota Nigeria, Menteri Luar Negeri Alwi Shihab meminta penulis mendiktekan pengantar bagi bukunya. Karya itu adalah terjemahan dari disertasinya yang ditulis untuk gelar doktor dari Universitas ‘Ain Shamms di Kairo beberapa tahun lalu. Sebelum penulis mendiktekan pengantar tersebut, ia minta dibacakan beberapa bab dari buku tersebut. Ternyata apa yang didiktekan itu merupakan sebuah bahan pemikiran yang patut diulang dalam tulisan ini.
Dalam buku itu, Alwi Shihab memaparkan bahwa penyebaran Islam di negeri ini dilakukan antara lain oleh kaum ulama pesantren. Mereka ini menggunakan tasawuf Suni sebagai pegangan dalam penyebaran agama Islam, semenjak beberapa abad yang lalu. Dengan tasawuf tersebut, mereka melawan pandangan kaum kebatinan, yang dalam budaya Jawa dikenal dengan nama Kejawen. Sebagai bukti sejarah atas penentangan mereka itu, disebutkan Syekh Siti Jenar (Tanah Merah atau Lemah Abang) sebagai orang yang menyimpang dari tasawuf Suni di atas, dan karena itu dihukum mati oleh para Wali Sanga (Wali Sembilan). Mereka yang mengikuti pandangan itu, pada akhirnya mengembangkan paham kebatinan/kejawen di negeri kita. Penulis menolak anggapan ini, karena memang legenda hukuman mati atas tokoh tersebut memang dapat ditafsirkan dari sudut pandang yang berbeda-beda. Penulis mempunyai anggapan lain, yang tentu merupakan penafsirannya sendiri atas “kejadian” tersebut. Dengan mengetahui perbedaan pandangan itu, penulis yakin kekayaan kita akan sejarah pemikiran di negeri ini akan semakin berkembang.
Penulis melihat “kejadian itu dari sudut yang berbeda. Jika Alwi Shihab menganggap para ulama di negeri kita itu menentang kebatinan/kejawen, berarti para ulama itu menentang salah satu bentuk Wihdatul Wujud (Pantheisme, manunggaling kawula lan Gusti), maka penulis memiliki anggapan lain. Dalam pandangan penulis, hukuman mati yang dijatuhkan Wali Sanga atas Syekh Siti Jenar, bukanlah karena beliau berpaham Wihdatul Wujud, -seperti yang diuraikan di atas, melainkan karena sebab lain. Beliau mengajarkan paham itu kepada orang banyak (kaum awam, laity).
Dalam pandangan penulis, “dosa” Syekh Siti Jenar bukan terletak pada penerimaan beliau pada Wihdatul Wujud, melainkan dalam “sikap gegabah beliau dalam mengajarkan paham tersebut di kalangan orang kebanyakan”. Karena itulah, kaum penganjur tarekat (dikenal di sini sebagai kaum tasawuf, kaum sufi) selalu menekankan pentingnya menjalankan syariat sebelum bertasawuf.
Pandangan semacam ini dikenal di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dan kaum tradisionalis lain dengan ungkapan; Man Yatakhaqq’ wa lam Yatasyarra’ fahuwa Zindiqum (orang yang berpandangan hakikat dan tidak menjalankan syariat, adalah orang yang sesat) kesimpulan dari pandangan ini adalah anggapan para ulama tradisionalis kita yang tidak menolak Wihdatul Wujud-nya Ibnu ‘Arabi, melainkan melarang penyebarannya di kalangan mereka yang masih awam.
Dari kesimpulan tersebut, penulis beranggapan ulama tradisionalis kita banyak yang mengambil ajaran Wihdatul Wujud itu bagi diri mereka sendiri, karena mereka sudah menguasai syariat, yang dalam hal ini berbentuk fikih (Hukum Islam). Dengan kata lain, mereka menolak penyebaran Pantheisme atau Wihdatul Wujud tersebut di kalangan orang awam, tetapi bagi kepentingan diri mereka sendiri, mereka juga menjalankan paham tersebut secara tertutup. Ajaran Wihdatul Wujud yang digunakan itu terutama adalah Wihdatul Syuhud (ajaran mengetahui sesuatu sebelum terjadi, dalam budaya Jawa di kenal dengan nama Weruh Sedurunge Winarah).
Hal ini diperkuat antara lain dalam sikap almarhum KH. Hasyim ‘Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Beliau menolak dirayakannya ulang tahun kematian beliau (haul) di Tebuireng, Jombang, tiap setahun sekali. Beliau mengetahui dengan tepat bahwa suatu saat beliau akan disucikan (taqdisul maqbarah). Kalau ini yang terjadi, tentu disebabkan oleh ketidakmengertian orang awam terhadap “kesaktian” yang dimiliki.
Tentu, hal ini sangat berbahaya, karena beliau lalu dianggap sebagai perwujudan Tuhan dalam kehidupan -yang tak lain dan tak bukan adalah konskuensi mengajarkan paham Pantheistik itu di kalangan orang banyak, yang memang merupakan bahaya bagi ajaran Islam. Bagaimanapun saktinya seseorang itu, tidaklah patut ia menjadi Tuhan, karena dia hanyalah seorang hamba belaka.
Dengan menggunakan pandangan ini, dapat dilihat bahwa kaum ulama tradisionalis kita tidak menolak ajaran Wihdatul Wujud itu, melainkan dilarang penyebarannya secara gegabah. Jadi dengan demikian, antara kaum syara’ dan kaum kebatinan (kejawen) memang berbeda, tetapi tidak bertentangan. Dengan kata lain pula, bahwa tidak ada pertentangan prinsipal antara kaum Wihdatul Wujud (kebatinan/kejawen) dan kaum syariat yang menggunakan referensi fikih. Ini semua, tentu membawa konsekuensi-konsekuensi bagi pengembangan tradisi demokratisasi di negeri kita, yang tidak pada tempatnya untuk diuraikan lebih lanjut di sini. Namun, akan ada tulisan lain di masa depan mengenai konsekuensi tersebut.