Tokoh Kiai Syukri
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
PANTAS kalau ia dapat mencapai “tingkat nasional” dalam forum sesama ulama. Ia cerdik dan teliti. Betapa tidak cerdik karena setiap kali, ia meminta kesempatan berbicara terakhir. “Apa masih ada waktu untuk saya?” adalah “merek dagangnya” yang sudah diketahui semua orang, diucapkan di kala pembicaraan sudah akan diakhiri.
Tetapi, ada sesuatu di balik “kebiasaan” yang disengaja itu, yaitu meluruskan lagi pembicaraan dari kecenderungan untuk menjadi terlalu sempit, terlalu berpegang pada penafsiran harfiah saja tanpa memasukkan pertimbangan situasi konkret dalam kehidupan. Misalnya, puitisasi Alquran. Apa pendapat Kiai? “Asal dimaksudkan penyajian ayat-ayat suci dengan susunan kalimat indah, tanpa mengubah inti pesannya, ya baik saja kan?”
Banyak persoalan lain didekatinya dengan cara ini. Kiai Syukri yang sudah tua, tetapi masih tetap perlente, ternyata menimbang kearifannya sendiri dalam menggunakan keyakinan agamanya sebagai panduan hidup.
Sejumlah orang NU dan Muhammadiyah secara bergurau memperdebatkan soal “hadiah” membacakan surat Alfatihah kepada arwah orang yang sudah mati. Sampaikah “kiriman” bacaan itu ke alamat yang dituju, seperti halnya kiriman Elteha dalam kehidupan dunia? Apakah dasar pendapat yang diikuti masing-masing?
Yang dari Muhammadiyah tidak melihat “dalil yang dapat dipegangi” dan Alquran maupun hadis Nabi Muhammad untuk menunjang kemungkinan kiriman via “Elteha akhirat” sampai ke tujuan di ‘alam sana’. Yang NU memegangi pendapat para ulama mazhab yang empat, yang menerima kemungkinan seperti itu.
Bagaimana Kiai Syukri? Semua mata memandang penuh harap kepada kiai metropolitan yang menjadi Godfather-nya sekelompok “mafia intelektual” dari sebuah daerah di selatan Jawa Tengah ini. Ternyata, tidak meleset harapan mereka. Kata Kiai: “Hadiah fatihah tidak sampai ke alamatnya, menurut Imam Syafi’i. Ia sampai menurut ketiga imam mazhab yang lainnya. Kita ikuti suara mayoritas sajalah.”
Semua lega. Yang dari Muhammadiyah merasa aman karena pendapat mereka juga sejalan dengan pendapat imam pendiri mazhab yang paling banyak diikuti di Indonesia. Yang dari NU lega, karena masih bisa mengirimkan “hadiah ulang tahun (kematian)” yang mereka warisi dari para kiai zaman dahulu. Sudah tentu kirimannya tidak segera sampai, secepat pos kilat khusus, karena tidak didukung oleh Imam Syafi’i, tetapi mereka toh sudah terbiasa dengan pola “alon-alon asal kelakon”?
Mencari titik temu optimal dari pandangan yang saling bertentangan dengan jalan menunjuk kepada perbedaan pendapat di kalangan ulama masa lalu, adalah spesialisasi Kiai Syukri.
Ini adalah “ideologi” yang dalam lingkungan para kiai dikenal sebagai sikap “fihi qaulani” (dalam masalah ini ada dua pendapat), yang menyerahkan kepada umat untuk mengambil pilihan masing-masing antara dua spektrum pendapat yang saling bertentangan. Umat, toh, sudah dewasa. Kalau dibekali alasan masing-masing pendapat, mereka akan melakukan pilihan secara dewasa. Kalaupun berbeda dengan orang lain, hal itu akan dilakukan tanpa sikap apriori dan sejenisnya.
Kunci dari sikap ini adalah keinginan sangat kuat untuk mencari apa yang terbaik bagi manusia, tetapi melalui pertimbangan manusiawi pula. Dalam bahasa fiqh, kecenderungan ini dinamai “mengutamakan kemaslahatan memang penting, tetapi mencegah kerusakan jauh lebih penting lagi” (dar’ul mafasid aula min jalbil masalih). Berapakah antara kita yang dapat mencapai kearifan sedemikian, jika dihadapkan kepada nilai-nilai normatif dari agama kita masing-masing?