Toleransi dan Batasnya
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Toleransi atau kerukunan adalah ciri dalam hubungan antar-agama di negara kita. Dimulai dari kisah Prabu Dewata Cengkar yang dikalahkan oleh Prabu Aji Saka, kita lihat hubungan itu merupakan grafik yang menetap. Walaupun Dewata Cengkar dikalahkan oleh Aji Saka, yang memberikan hitungan tahun dan huruf pada rakyatnya –yang kemudian– berkembang menjadi tahun Jawa dan Aksara Jawa, namun pengaruh Dewata Cengkar masih terasa kuat dalam perilaku para penguasa di negeri ini.
Dan, pada gilirannya, perilaku itu mengikat rakyat yang tunduk pada raja-raja semenjak dahulu. Salah satu di antaranya adalah adat Jawa yang tidak mengenal etika kekuasaan, yang penting, asal tatap berkuasa. Ini tampak dalam etika politik Orde Baru, yang memperkenalkan segala macam cara asal menang.
Hancurnya Kerajaan Kalingga dan Kerajaan Sailendra (pendiri Borobudur) pada abad X, melahirkan agama baru Hindu Budha, yang lalu menjelma menjadi Kerajaan Kediri di bawah Darma Wangsa. Elemen-elemen ke-Hindu-an dan ke-Budha-an dalam agama baru ini merupakan unsur-unsur kedua agama itu yang dipeluk secara berbarengan oleh Kerajaan Kediri, Singosari, dan Majapahit.
Kepercayaan akan Avatar (Batara) bercapur aduk dengan berbagai ritus Budha, seperti tentang bebasnya pemeluk agama dari berbagai kewajiban, merupakan sesuatu yang menajdi ciri spesifik orang-orang Budha.
Ketika Islam datang ke tanah Jawa, ia pun segera bercampur aduk dengan apa yang ada. Mungkin memang sudah “dari sononya” (seperti dari Benggala dan Guzarat), maupun diambil dari kebudayaan yang berkembang di sini, yang terpenting adalah melihat bagaimana pencampuradukan Islam, Hindu, dan Budha itu berlangsung secara damai di negara kita selama berabad-abad.
Berbagai hal seperti upacara kematian 3 hari, 7 hari, 40 hari, dan 1.000 hari merupakan salah satu contoh yang dapat dikemukakan. Hal ini juga berlangsung di daerah barat seperti Syiria dan Mesir, tapi yang jelas “Islam Indonesia” memperlihatkan ritus yang berlainan yang memang produk kawasan Timur.
Baru pada abad ke-19, muncul gerakan reformasi di Sumatra Barat, yaitu gerakan dari Kaum Muda di Ranah Minangkabau. Hasilnya adalah Perang Paderi yang berlangsung lama (1822-1838), yang hanya dapat dilerai oleh kekuatan penjajah Belanda. Hasilnya pun mendua, yakni masih dipakainya hukum adat dalam hal waris, sementara ritus-ritus keislaman lain dari kaum muda juga diterima. Dengan demikian, pepatah “Adat Bersendi Syara dan Syara’ Adat “Bersendi Kitabullah” hanyalah pemeo belaka- yang lagi-lagi memperlihatkan dualisme antara agama di Tanah Jawa maupun di Kalimantan.
Dengan kata lain, sejak dahulu kala kita memang terbiasa terhadap pencampuran antara agama. Agama Kristen pun di sini mengalami pengaruh kuat dari agama Islam. Begitu rupa pengaruh itu, hingga kita lihat orang Kristen pun mengucapkan salam “assalamu’alaikum” ketika berpidato dan sebagainya. Hal itu wajar saja, karena bagaimanapun agama Islam adalah agama mayoritas penduduk. Hal yang sama terjadi pada kaum muslimin yang membentuk minoritas di Amerika Serikat. Kalau mereka berjumpa dengan orang, mereka tidak menggunakan “uluk salam“, tapi mengucapkan selamat pagi, selamat siang serta selamat malam (good morning, good evening, serta good good night).
Dengan adanya “kesdaran baru” melalui pembaharuan (reformasi), sekarang tumbuh tuntuan untuk menerapkan ajaran formal Islam lebih banyak lagi. Negeri yang dulu dipimpin seorang wanita, seperti Cut Nyak Dien, melalui proses ini, justru kini kita menyaksikan munculnya anggapan bahwa kaum wanita tidak boleh memimpin. Padahal, semula para pemimpin Islam di sini menerima “penafisiran lokal” atas larangan menjadikan wanita sebagai pemimpin. Justru karena itulah Islam bisa berkembang yang tadinya sebagai agama yang dihormati orang dan menjadi agama mayoritas bangsa kita.