Tugas NU dan PKB Dalam Politik Nasional
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
TANGGAL 25 Oktober 2004 malam DPP PKB (Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa) mengadakan rapat pleno yang dihadiri oleh 2/3 anggota. Tanpa dinyana-nyana, masuknya Prof DR Alwi Shihab dan Drs Syaifullah Yusuf ke dalam kabinet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapat reaksi sangat besar dari para peserta rapat. Dirumuskan oleh media massa, bahwa profesor kita itu mewakili PKB dalam kabinet itu sebagai Menko Kesra. Padahal, hal ini tidak pernah dibicarakan oleh forum formal manapun di lingkungan DPP PKB. Walaupun penulis tidak mengeluarkan reaksi apa-pun dalam rapat itu kecuali pada pembukaan menguraikan kedatangannya ke tempat penulis untuk menyampaikan bahwa ia ditelepon oleh M Jusuf Kalla dan diminta menjadi menteri. Sedangkan Syaifullah Yusuf belum pernah datang sekalipun untuk membicarakan penunjukannya itu.
Penulis tak pernah menghambat orang yang lebih mementingkan kedudukan sebagai menteri. Namun, penulis juga ingat bahwa rapat pimpinan sebelum bulan puasa telah memutuskan mereka yang menjadi menteri (dan tentu juga menjadi pimpinan lembaga pemerintah lain), tidak diperkenankan lagi menjadi pengurus PKB di segala tingkatan.
Dua hari sebelum keputusan dalam rapat pleno itu, profesor kita itu (Alwi Shihab) mengemukakan dalam sebuah pernyataan, bahwa ia tidak bersedia mundur dari jabatan Ketua Umum Dewan Tanfidz karena ia dipilih oleh Muktamar Luar Biasa beberapa tahun yang lalu di Yogyakarta. Di samping tidak fair, ia dengan pernyataan itu melupakan kenyataan bahwa secara kolektif dalam DPP PKB diambil keputusan sebelum bulan puasa itu secara bulat, termasuk di dalamnya pendapatnya sendiri. Dengan kata lain, ia menelan ludah sendiri yang telah dikeluarkan dan ini menimbulkan persoalan apakah etika yang ia pergunakan dalam hal ini?
Dalam rapat DPP PKB yang memutuskan secara aklamasi untuk mendukung Wiranto-Sholahudin Wahid untuk menjadi Capres-Cawapres bagi pemilu putaran pertama, sebenarnya ada kira-kira 30 persen suara anggota DPP PKB yang tidak menghendaki hal itu. Sebaliknya, keputusan untuk memberhentikan Alwi Shihab dan Syaifullah benar-benar diambil secara aklamasi. Karena itulah, jika ia berkeras seperti dalam pernyataan itu, ia menggunakan standar ganda.
Dan, kalau ini dikemukakan dalam muktamar, ia dapat dipecat dari keanggotaan DPP PKB secara tidak hormat. Sudah tentu ia akan menjadi gelandangan dalam dunia politik kita, padahal PKB adalah salah satu partai politik besar di masa depan. Kalau saja Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak melakukan kecurangan dan manipulasi, PKB sudah menjadi partai nomor satu hanya karena sikap kolektif bangsa kita, yang tidak mau menyuarakan kebenaran bahwa dalam keputusan-keputusannya, KPU yang melakukan lima kali pelanggaran terhadap empat buah undang-undang.
Keputusan rapat pleno DPP PKB itu menimbulkan pertanyaan: apakah sebenarnya misi politik dari NU dan PKB di masa yang akan datang? PKB adalah parpol yang dilahirkan oleh PBNU dengan perintah kepada penulis untuk mendirikan sebuah partai pada tahun 1998. Tugas itu penulis laksanakan bersama-sama dengan 8 orang lain yang penulis minta. PKB pun dideklarasikan oleh PBNU, termasuk oleh pimpinan tertinggi NU waktu itu, KH M Ilyas Ruchiyat dari Cipasung, Tasikmalaya yang menjadi Rais ‘Aam. Karena itulah penulis selalu menganggap PKB sebagai bagian independen dari NU yang bertugas di bidang politik praktis. Penulis tidak mungkin berbicara tentang PKB, tanpa menyinggung NU. Karena itulah, judul tulisan ini menyangkut NU dan PKB, karena PKB harus mendasarkan sikap-sikap politik yang diambilnya atas sikap-sikap NU sendiri.
NU adalah sebuah organisasi massa yang besar, yang terutama bergerak di bidang pendidikan, pemikir keagamaan, dan bidang-bidang lain yang akan mengangkat taraf kehidupan bangsa ini. Dengan cara demikian, ia melayani kepentingan kemanusiaan dalam artian yang umum. Karenanya tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun, keterlibatan NU dalam politik praktis. Ia harus melakukan fungsi advokasi (pembelaan) masyarakat di hadapan kekuasaan pemerintahan, dan kepentingan orang kecil (terutama mereka yang tertindas) di hadapan kekuatan-kekuatan besar yang mereka hadapi.
Tentu saja hal itu dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan keagamaan yang jelas. Jika NU lupa kepada tugasnya ini, berarti ia melu pakan sejarah dan asyik dengan peranan semu yang dijalaninya hingga saat ini. Karena hal-hal di atas termasuk lingkup Islam (fiqh), dengan sendirinya hal itu merupakan kewajiban untuk dirumuskan dan ditangani oleh NU.
Kewajiban-kewajiban di atas membuat NU tidak pernah lepas dari masalah-masalah sosial yang dihadapi bangsa, dan ini harus tercermin dalam dokumen-dokumen NU yang ada. Jangan seperti sekarang, NU asyik bermain politik praktis di tingkat nasional dan melupakan hal-hal di atas. Bahkan ada kecenderungan pengurus NU adalah orang-orang yang kalah bersaing dalam PKB, yang membuat mereka lalu berorientasi politik praktis.
Ini berarti, diperlukan pembenahan personalia di lingkungan NU. Dan, seperti penulis katakan dalam berbagai kesempatan di lingkungan PKB juga memerlukan pembenahan-pembenahan personalia. Terlalu banyak perhatian diberikan kepada masalah-masalah politik praktis sehingga PKB juga dihinggapi sikap politik pragmatis, yang sekarang mendominasi sebagian besar parpol-parpol kita. Padahal idealisme politik harus memperoleh tempat juga dalam kehidupan parpol-parpol kita.
Akibat dari pragmatisme politik itu, terlihat dalam penyusunan kepemimpinan komisi-komisi di DPR dewasa ini. Hal ini terjadi, karena harapan bahwa pimpinan berbagai komisi akan memperoleh uang dari pihak-pihak lain di samping menentukan urutan-urutan produk legislatif kita. Adakah hal yang lebih pragmatis dari kehidupan materialistik seperti itu? Sedangkan kita lihat, di negeri-negeri lain yang maju industrinya, pimpinan komisi diperebutkan bukan karena pertimbangan-pertimbangan politik pragmatis, melainkan oleh kegunaan non-pragmatis bagi kepentingan partai. Hal inilah yang kita lupakan, sehingga DPR, sebagaimana halnya pihak eksekutif dan yudikatif menjadi sama-sama tidak demokratis, seperti halnya DPR-RI. Kita belum berbicara tentang Dewan Perwakilan Daerah (DPD), walaupun mempunyai catatan sedikit tentang hal itu.
Bagaimana halnya dengan PKB? Karena parpol itu adalah alat politik dari NU, dengan sendirinya apa yang menjadi dasar-dasar perjuangan NU adalah juga dasar-dasar perjuangan PKB. Dalam hal ini tidak boleh ada perbedaan, karena apa yang diperjuangkan dua-duanya adalah sesuatu yang sama. Hanya saja hal-hal yang diperjuangkan NU bersifat sublimasi perjuangan secara global, menyangkut bermacam-macam aspek, yang tidak seluruhnya berwatak politik. Sedangkan PKB memperjuangkan hal yang sama, tetapi melalui bidang perundang-undangan. Tentu saja, corak manajemen organisasi itu sangat berbeda walaupun pada dasarnya sama yaitu memuliakan perintah Allah SWT yang luhur ‘I’la-I kalimat Allah al-‘ulya’. Kepentingan pribadi yang saling bertentangan seharusnya tunduk pada hal ini. Tapi, manusia yang mengurusi kedua lembaga tersebut sering melupakan hal ini.
Karenanya, antara PKB dan NU seharusnya sering bermusyawarah tentang bagaimana dua-duanya dapat membela kepentingan orang banyak, dan mengurangi seminimal mungkin hal-hal yang bersifat pribadi dan kepentingan sesaat. Justru di sinilah terletak arti sesungguhnya dari firman Tuhan: “urusan mereka harus dimusyawarahkan” (wa amruhum syura bainahum). Semakin banyak musyawarah itu dilakukan, akan semakin baik bagi kepentingan kedua belah pihak, terutama kepentingan umum. Dengan tidak menghilangkan keharusan bermusyawarah antara semua pihak, kita harus mengakui hak tiap kelompok untuk mengembangkan diri sendiri dan warga yang menjadi pengikut.
Kalau ini saja dapat kita wujudkan, bukankah sudah sangat besar artinya bagi kelangsungan hidup manusia, bukan?