Ukurannya Jelas, Bukan Sekadar Nomor Sepatunya Akbar Tandjung

Sumber foto: https://saurmhutabarat.com/about/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

(Catatan Kecil buat Saur Hutabarat)

Di harian dan ruangan ini, beberapa waktu lalu, Saur Hutabarat (SH) mengemukakan pendapat yang sangat menarik. Intinya, tiap bangsa mempunyai ukuran kepemimpinan tersendiri, yang berbeda dari waktu ke waktu dialami oleh masyarakat yang bersangkutan. Karenanya, ia menolak tegas pendapat Akbar Tandjung, Ketua Umum DPP Golkar, yang menganggap bahwa tidak ada orang yang mempunyai kepemimpinan untuk meneruskan pemerintahan di masa ini. Karena itu pulalah, lalu, Pak Harto (Soeharto, mantan Presiden RI) tetap menjadi pemimpin selama tiga puluh tahun hingga dijatuhkan bulan Mei lalu. Saur menolak anggapan bahwa bangsa ini tidak memiliki pemimpin yang tidak sesuai dengan kebesarannya sebagai masyarakat. Melainkan, hal ini terjadi karena tidak ada yang diberi kesempatan oleh Golkar untuk menjadi pemimpin sekaliber itu.

Pendapat di atas benar, dan memang harus dibenarkan. Akibatnya, yang parah juga tidak bisa ditutup-tutupi oleh siapa pun. Demikian banyak biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pemimpin yang diharapkan. Dengan kata lain, kita menyia-nyiakan waktu untuk hanya ingin memiliki pemimpin yang cakap.

Dengan mengemukakan pendapat ini, penulis bukan bermaksud menolak anggapan SH, bahkan seluruh hidup penulis sepulang dari Timur Tengah banyak dihabiskan untuk berjuang menegakkan demokrasi. Sebab, itu semua merupakan persyaratan utama bagi kejayaan sebuah bangsa, seperti yang dicapai oleh negara-negara industri maju. Contohnya, Uni Soviet yang mempunyai Kapsul Angkasa untuk mendarat di bulan, adalah nyata menunjukkan hal itu. Begitu pemerintahannya jatuh, Negeri Beruang Merah itu langsung mengalami krisis ekonomi berkepanjangan yang belum selesai hingga hari ini. Hal itu sama halnya dengan industri pesawat terbang kita, yang sama sekali tidak didukung oleh basis ekonomi yang sehat dan teknologi yang maju secara keseluruhan. Bukankah ini sangat menyedihkan?

Bahwa, sumber dari kelemahan ini adalah kurangnya perhatian kita terhadap dasar-dasar teknologi dan kurangnya sendi-sendi yang kukuh bagi ekonomi kita di segala bidang. Dalam hal ini, ada sebuah lelucon yang menggambarkan kenyataan di atas tadi dengan tepat. Yaitu, ketika Neil Amstrong mendaratkan kapsulnya di bulan, ia melihat orang Cina dan Indonesia. “Kami bisa sampai ke sini (bulan) dengan menaiki pundak kami, sebab bangsa Cina jumlahnya ada satu miliar lebih, hingga sampai di bumi,” ujar orang Cina itu. Akan tetapi, lain lagi kata orang Indonesia, “Kami sampai di sini (bulan) karena memanjat makalah-makalah dan pidato-pidato yang diadakan di negeri kami (selama masa Orde Baru).” Dari sini, jelaslah bahwa sikap hidup orang Indonesia tidaklah realistik, melainkan hanya tertulis belaka.

Hal itu juga berlaku dalam soal kepemimpinan. Begitu tingginya syarat-syarat yang diletakkan pada hampir semua pihak, mulai dari MPR hingga buku-buku P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)-yang memungkinkan untuk menjadi pemimpin bangsa ini, ternyata tak bisa dicapai. Konsep beriman dan bertakwa, misalnya, keduanya telah membuat keruwetan masing-masing. Padahal, bangsa lain tak pernah merumuskan tentang hal tersebut. Namun, dengan hukum dasar yang sangat sederhana, seperti terhadap pihak-pihak yang memenangkan pertarungan politik, mereka mampu mencapai tingkat pembangunan yang sangat pesat yang membuat bangsa-bangsa lain iri. Lihat saja Australia yang dulunya dikenal banyak dihuni para pembunuh dan perampok, kini justru menjadi pemerintahan yang kukuh dan kuat.

Hal itulah yang dilupakan oleh negeri kita. Semakin banyak yang dirumuskan, semakin sedikit pula yang dikerjakan. Pelaksanaan sebagian besarnya merupakan persiapan, bukannya omong kosong yang tak memberi hasil apa-apa. Suatu bangsa yang tak menyadari hal ini akan tetap tinggal dalam kemiskinan dan ketertinggalan, sementara bangs-bangsa lain di sekitarnya terus semakin maju. Jika kenyataan ini saja sering terlepas dari perhatian kita, bagaimana kita akan memikirkan hal-hal yang lebih besar yang terbentang di hadapan kita, sebagai sebuah bangsa!

Salah satu akibat dari kesenangan kita untuk verbalisasi kepemimpinan, karena langkanya pemimpin-pemimpin di hampir segala bidang untuk digantikan oleh orang yang tidak sungguh-sungguh punya kepemimpinan. Akhirnya, kecerdikan selalu memanipulasi keadaan dan kesediaan menyembunyikan fakta dipakai sebagai ukuran. Akibatnya, masalah kepemimpinan kita jadi rancu, dan hal ini pun sangat tampak dalam tulisan SH. Karenanya, tulisan ini dibuat untuk meluruskan hal tersebut. Karena, keadaannya akan jadi parah jika hal itu akan diterus-teruskan lagi.

***

Masalahnya sederhana saja: saudara SH menyatakan dirinya sebagai pengikut setia dari Golongan Putih (Golput). Hal itu, disebabkan ketiadaan pemimpin yang mempunyai persyaratan dan terlepas dari pengaruh Golkar. Tentunya, semua itu tidak disadarinya, tetapi justru dianggap sebagai sebuah kecendekiaan tersendiri. Persoalannya, jika tidak ada yang memenuhi syarat, lalu bagaimana? Dengan kata lain, di sini, persoalannya sangat terkait dengan struktur tidak adil yang menguasai masyarakat. Jadi, tidak ada jawaban yang cukup memuaskan yang dapat diberikan lagi.

Juga, hal yang sama dapat dilihat dalam tuntutan penggantian pemimpin yang tidak becus. Mengapa? Karena tidak ada yang dapat menyainginya. Bukankah itu berarti bahwa seluruh bangsa yang salah karena struktur politik yang memungkinkan tumbuhnya seorang pemimpin. Atau, tidak ada yang bersalah karena keadaannya tidak memungkinkan bagi munculnya sang pemimpin. Logika semacam inilah yang harus diberlakukan pada pendapat SH itu. Ia menjadi pengikut Golput, karena tidak mau jadi pengikut golongan lain. Akan tetapi, ia tidak bisa jadi pengikut golongan lain, karena yang tersedia baginya hanyalah Golput. Jadi, logika tidak bisa dipakai dalam hal seperti itu, dan memaksakan logika dalam hal ini sama sekali tidak mungkin. Tak semua warga Jerman menjadi Hitler, karena memang bagi mereka tak ada pilihan lain. Dan, bangsa kita tak bisa memilih orang lain karena pilihan yang tersedia hanyalah Soeharto.

Dengan demikian, terlihat jelas ketiadaan konsistensi dalam penggunaan akal untuk menjawab argumentasi; mengapa kita memilih Soeharto. Dan itu sekaligus langkanya peluang untuk memberikan jawaban yang memuaskan. Karena jatuhnya saudara SH pada keadaan tidak logis ini, jawaban yang kita peroleh pun tak memuaskan. Karena itu, kita mesti berhati-hati dalam menyuarakan perasaan karena kesan yang akan diperoleh juga akan lain dari yang kita inginkan. Inilah kesulitan hidup kita, antara pikiran dan kenyataan hidup terdapat celah lebar yang seakan-akan tak dapat dijembatani lagi.

***

Dengan argumentasi seperti inilah, kita juga mendudukkan latar belakang historis dari berbagai hal yang terjadi dalam sejarah. Pada waktu penulis dan seorang teman berkendaraan dari stasiun sentral Amsterdam menuju arah utara, kami berdua melintasi Afslusdijk (tanggul tertutup di sebelah belakang). Tanggul ini, memisahkan antara tanah Polder di sebelah timurnya dengan Laut Utara (North Sea) di sebelah kirinya. Tanah itu semula berupa laut yang, kemudian airnya dipompa ke lautan. Hingga, setelah mengering, kini terlihat di sebelah timur itu –yang berada di bawah titik terendah permukaan air laut – daerah pertanian yang subur, ruas jalanan serta hal-hal lain di atas yang tadinya tertutup air laut. Teman penulis mengatakan bahwa untuk membuat Polder ini, dulunya, dibangun sebuah tanggul (Dijk) sepanjang kurang lebih 21 km, yang tentu hanya dimungkinkan oleh tersedianya biaya yang cukup. Dan, biaya itu bukankah mereka peroleh melalui proses penjarahan (kolonialisasi) di tanah air kita?

Penulis menjawab bahwa hal itu mungkin saja benar. Akan tetapi, itu juga membuktikan adanya kelemahan kita sebagai bangsa. Sebab, sejak dahulu mereka telah bersatu dalam sebuah Nation (bangsa), sedangkan kita terpecah-pecah dalam kerajaan-kerajaan kecil. Makanya, kita jangan melihat keserakahan bangsa Belanda saja, tetapi juga melihat kelemahan bangsa kita sendiri yang tidak mampu bersatu. Dengan kata lain, kita tidak bisa hanya melihat dari satu arah atau sebab kesejarahan saja melainkan harus melihatnya dari sudut lain. Dan, sudut lain itu berupa ketidakmampuan kita bersatu dan pendeknya pandangan kesejarahan kita sendiri.

Pertanyaannya, adakah dosa kolektif dalam hal ini? Kalaupun ada, penulis yakin, tidak dapat dilihat sebagai suatu kesadaran bersama, melainkan sebagai sikap khusus yang tak memungkinkan kita untuk menyalahkannya sebagai dosa bersama dari semua kerajaan tersebut. Hal inilah yang sering dilupakan oleh orang ketika membahas apa yang dinamakan “dosa sejarah” dari sebuah bangsa dalam menjalani sejarahnya. Artinya, sejarah atau kebenaran praktis tidak dapat diukur atau ditinjau dari satu sudut kenyataan saja, melainkan suatu keruwetan tersendiri yang menunjukkan kekalangkabutan sejarah itu juga. Inilah yang sering dilupakan oleh banyak orang, termasuk saudara SH, yang hanya melihat kesalahan kolektif Golkar sebagai sebuah kenyataan sejarah. Yang menarik, justru kesimpulan ini datang dari penulis sendiri yang sepanjang hidupnya belum pernah menjadi anggota Golkar, tetapi ingin mempelajari sejarah dari perspektif yang benar.

Yakni bahwa antara kenyataan sejarah dan rasio tidaklah bisa disamakan begitu saja. Wallahu a’lam bi shawab!