“Wong, Saya Enggak Pernah Berubah” (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Jangan sembarangan, Gus Dur masih memimpin umat. Itulah setidaknya menurut pengurus Nahdlatul Ulama (NU) Cabang Lampung yang datang ke kantor PBNU di Kramat Raya, Jakarta Pusat. “Akan hadir sedikitnya 50.000 umat kalau Gus Dur bisa datang,” bisik salah seorang di antara rombongan itu, yang mengundang Abdurrahman Wahid untuk hadir dalam sebuah pertemuan umat di Lampung, nanti.
Menerima pengurus NU dari berbagai daerah, itulah bagian dari kesibukan Abdurrahman Wahid di kantor PBNU sehari-hari. Dan Abdurrahman Wahid tetaplah Gus Dur. Maksudnya, di antara acara “serius” itu, biasa, ia masih bisa menemukan waktu longgar, misalnya hari itu, 7 November, sebelum rombongan Lampung datang. Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar NU itu sempat “olahraga” sejenak. Ia mondar-mandir bertelanjang kaki dari ruangannya ke ruang tamu sambil menyiulkan lagu Barat Ramona. Badannya yang ekstra subur tak menghalangi geraknya. Langkahnya cepat dan lincah, walaupun waktu itu ia tak mengenakan kacamata supertebalnya, ia tak pernah “salah jalan”. Beberapa kali, ia memiringkan badannya dan nyaris menabrak lemari, ternyata selamat saja.
Gus Dur, kini 56 tahun, belakangan menjadi pembicaraan ramai. Gara-gara, ia terpilih untuk ketiga kalinya di Muktamar NU Cipasung tahun 1994 itu baru bertemu dan berjabat tangan dengan Presiden Soeharto, awal November ini, dalam acara pembukaan Musyawarah Kerja Nasional Rabitbat al-Ma’abid al-Islamiyah (RMI, Perhimpunan Pesantren NU) di Pesantren Zainul Hasan, Probolinggo, Jawa Timur. Bukan karena Pak Harto tak hadir di Cipasung dua tahun lalu itu. Tapi, entah kenapa, ketika itu, Gus Dur hanya di belakang para pengurus yang lain ketika Presiden mengunjungi Muktamar Cipasung dan tak sempat bertemu muka dengan Presiden, apalagi berjabat tangan.
Sesudah Muktamar, berdasarkan kebiasaan di Indonesia, pengurus baru (atau yang terpilih lagi, sebuah organisasi besar lazimnya kemudian melakukan silaturahmi ke Istana negara dan berjabat tangan dengan Presiden Soeharto Gus Dur bukannya tak ingin melakukan itu, tapi panggilan dari istana tak kunjung tiba. Bahkan, menyusul terpilihnya Gus Dur, ada beberapa orang yang mengaku diminta oleh pihak tertentu untuk meminta “Gus Dur mundur” dan kepengurusan NU. Tapi, Gus Dur bertahan hingga sekarang, hingga jabat tangan dengan Presiden Soeharto terjadi, meski bukan di Istana.
Bukanlah hal yang aneh bila kemudian pemimpin NU itu pun berpelukan dalam silaturahmi dengan KSAD Jendral R. Hartono di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur. Meski, dua tahun lalu, dikabarkan Jendral Hartono, waktu itu sebagai Kassospol ABRI, “ikut tidak senang” dengan tampilnya kembali Gus Dur menjabat Ketua PBNU untuk ketiga kalinya.
Adakah cucu K. H. Wahid Hasyim itu sudah berubah? Adakah ia dianggap “melunak” dan lebih bersikap “akomodatif”? Orang lalu mengaitkan dengan pernyataan bahwa NU akan mendukung Pak Harto juga bila MPR memang memilihnya kembali. Juga imbauan-nya agar Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP PDI yang tergusur, mencabut kembali gugatannya terhadap pemerintah, berkaitan dengan kemelut yang terjadi di tubuh Partai Demokrasi Indonesia.
Namun, lain di masyarakat, lain di dalam diri Gus Dur. Pemimpin sekitar 30 juta umat NU itu dengan santai menyatakan “tidak ada yang spesial” dalam jabat tangannya dengan Presiden Soeharto. Meskipun, ia mengakui pertemuan itu punya dampak psikologis yang positif bagi warga NU dalam hubungan dengan, terutama, pemerintah daerah setempat.
Pekan ini, Abdurrahman Wahid mengunjungi umatnya di Jawa Timur (Nganjuk dan Jombang, antara lain) “karena diundang”. Sebelum sore hari ia terbang ke Surabaya, di rumahnya, di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan, Ketua Tanfidziyah NU itu menerima tiga wartawan D&R: Rachmat H. Cahyono, Imelda Bachtiar, dan Budi Nugroho.
Rumah itu tepat di belakang masjid Almunawaroh, yang menjadi kebanggaan masyarakat di situ. Masjid yang mampu menampung 500 lebih jamaah itu tampaknya lebih tepat disebut masjid kaum muda. Beberapa spanduk yang terpampang di dalamnya berisi seruan yang bersifat menyemangati kaum muda untuk beribadah. Rumah Gus Dur sendiri tak terlalu mewah untuk ukuran Jakarta. Bergaya joglo dengan pergola kayu, tampak asri dengan taman yang teduh dan terawat rapi. Dari luar, rumah itu tampak unik dengan sebatang palem raja setinggi sepuluh meteran di samping kiri pintu masuk, dan pagarnya yang tersusun dari batu alam. Konon, rumah itu jarang sepi bila Gus Dur di Jakarta. Ada saja yang datang, Malah, bila orang daerah kemalaman dan rumah sudah gelap, pintu halaman sudah ditutup, sudah biasa bila para tamu lalu tidur begitu saja di beranda masjid. Itu juga yang dilakukan D&R karena ketika datang Gus Dur sudah nyenyak. Padahal, D&R dijanjikan wawancara malam. Karena itu pula wawancara disambung siangnya, di dalam mobil yang melaju dari kantor PBNU Kramat Raya ke bandara Soekarno-Hatta. Dan, apa pun yang terjadi, Gus Dur tampaknya tetap tenang, seperti ketika Corolla Twin Cam-nya diserempet sebuah bus. Berikut petikan wawancara itu:
Hadirnya Presiden Soeharto dalam Pembukaan Musyawarah Kerja Nasional ke-5 Rabithah Ma’ahid Islamiyah di Probolinggo belum lama ini menurut Anda secara simbolis menunjukkan upaya koreksi Presiden terhadap ketimpangan dalam kehidupan politik saat ini. Bisa lebih dijelaskan pendapat Anda itu?
Nggak, saya cuma bilang itu punya dampak psikologis yang positif bagi warga NU dalam hubungan dengan, terutama, pemerintah-pemerintah daerah. Itu saja.
Lalu, yang Anda maksud “memperlihatkan upaya koreksi Presiden” itu apa?
Lho, itu bukan kunjungan itu sendiri. Pak Harto itu melihat bahwa tahun 1970-an dan awal 1980-an, kurang lebih, kaum muslimin, dalam arti santri tepatnya, tidak bisa memanfaatkan peluang-peluang yang tersedia dalam sistem politik Orde Baru. Karenanya, mereka, gampangannya, kurang terwakili di birokrasi, legislatif, di ABRI, dan sebagainya.
Ini bukan hanya ulama. Himpunan Mahasiwa Islam saja tidak terwakili. Jadi, di dunia profesi, birokrasi, apa itu namanya legislatif atau pun di ABRI, itu kurang terwakili, under representative. Pak Harto itu bacanya begitu. Nah, makanya, dia bikin koreksi. Pada paruh kedua 1980-an, dia mulai mengangkat orang-orang yang katakanlah bisa mewakili dunia santri atau pantes untuk menjadi citra orang-orang santri dalam pemerintahan.
Menurut saya, yang paling simbolis sekali adalah pengangkatan Pak Try Soetrisno sebagai KSAD. Bagaimanapun, citra Pak Try itu surau. Ya betul, dia adalah jendral, seperti militer yang lain. Tapi citranya itu, ya surau. Dia ‘kan bolak-balik mengaku sendiri kalau ketemu saya, “Saya ini tidurnya di langgar, Cak.”
Lha, koreksi dari Pak Harto itu berlanjut dan berkulminasi pada (dibentuknya) Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), yang diharapkan bisa memunculkan kekuatan politik yang baru, yang memungkinkan perwakilan dari, katakanlah, golongan Islam menjadi konkret; dalam pemerintahan, dalam partai politik, ABRI, dan sebagainya. Kalau melalui partai politik kan nantinya ke legislatif.
Gagasannya sendiri bagus. Tapi, ternyata ICMI ditangkap oleh orang-orang militan, kalangan aktivis muslim militer. Ini yang bikin ruwet karena mereka inginnya bukan mewakili saja, tapi mendominasi.
Siapa yang Anda maksud?
Ya, mereka itu (menyebut sejumlah nama) ingin mendominasi kekuatan sosial politk atau organisasi sosial politik. Itu adalah jaringan pertama. Lha, yang terjadi ini ‘kan alienasi total. Pak Harto terus menerus teridentifikasi dengan mereka, Pak Harto juga mengalami “pendarahan dukungan.” Kenapa? Karena, ya, semua ‘kan nggak senang, apalagi yang lain, apalagi yang non-Muslim.
Jadi, itu koreksi atas koreksi?
Koreksi itu ‘kan biasa. Dalam sejarah ‘kan begitu: sebuah koreksi senantiasa disusul koreksi kedua, koreksi ketiga, dan seterusnya. Nah, sekarang, Pak Harto melakukan upaya koreksi atas koreksi itu, dengan cara menunjukkan bahwa bukan hanya ICMI satu-satunya yang bisa (dianggap) mewakili Islam. NU pun bisa juga mewakili Islam. Pokoknya, saya melihat sekarang ini ada koreksi terhadap itu.
Sejauh mana efektivitasnya?
Ya, efektif. Karena, bagaimanapun, dukungan Presiden itu menjadi sangat menentukan, apalagi untuk organisasi kayak ICMI, yang memang nggak punya basis massa.
Ada yang bilang Anda yang berubah dan lebih akomodatif terhadap pemerintah. Misalnya, Anda mengimbau Megawati untuk tak meneruskan gugatannya atau pernyataan dukungan Anda kepada Pak Harto?
Itu bukan untuk kepentingan pemerintah. Itu untuk kepentingan Mega sendiri.
Jadi, langkah Anda itu mencerminkan apa sebenarnya?
Ya, mencerminkan keinginan saya untuk melindungi teman-teman saya.
Kalau ada kesan Anda telah berubah, bagaimana Gus?
Ya, terserah sajalah, wong saya nggak pernah berubah. Dari dulu ‘kan begini ini. Bahwa saya omong Pak Harto melakukan koreksi dan sekarang melakukan koreksi lagi, apa itu omongan orang yang berubah?
Saran Anda terhadap Mega itu kan terkesan tidak ditanggapi….
Siapa bilang? Ketika saya mengajukan imbauan itu, pertama untuk menunjukkan kepada pihak lain bahwa saya ini di pihaknya Mega dan tidak semua pihak Mega menunjukkan sikap konfrontasi; sehingga memahami situasi dan kondisi di dalam.
Waktu itu ‘kan jawabannya Mega bagus sekali, “Secara pribadi saya bisa menerima imbauan itu. Tapi, keputusan di tangan DPP PDI.” Artinya apa, pemerintah juga tahu bahwa Mega itu bukan orang yang senang konfrontasi.
Anda Yakin Mega bisa survive?
Ya, asal dia bijaksana, dia bisa memelihara jarak yang baik dengan semua pihak. Jangan semata-mata lalu kelihatan konfrontasi dengan pemerintah, jadi tidak bisa menyajikan adanya kelenturan sikap yang positif. Itu tidak berarti ngalah. Seperti gugatan ke PTUN itu, tunda dululah. Konsentrasi saja pada persoalan Soerjadi, gugatan terhadap Kongres Medan. Lalu, usahakan sejauh mungkin supaya ada keputusan dari pengadilan bahwa Kongres Medan tidak sah. Konsentrasi di situ.
Berkaitan dengan umat Islam, dulu waktu membentuk Forum Demokrasi (Fordem), Anda pemah mengatakan umat Islam belum siap bersikap demokratis. Kalau sekarang?
Ya, memang belum siap; baru satu-dua tahun, paling. Kalau cuma jarak lima-sepuluh tahun, sih, kondisinya masih sama. Kita melihatnya harus ke depan.
Peristiwa Situbondo itu mencerminkan kondisi ini?
Pokoknya beginilah: sudah ada koreksi terhadap, katakanlah, orientasi terhadap kepentingan-kepentingan Islam. Itu sebagai koreksi atas koreksi. Lha, nanti bagaimana, kita lihat saja.
Dalam Pemilu mendatang, faktor suara NU ‘kan menjadi sangat penting dan pasti diperebutkan. Kalau dikaitkan dengan kunjungan Pak Harto ke acara NU tempo hari, ‘kan banyak warga NU yang menaruh harapan….
Itu yang harus hati-hati. Jangan GR (gedhe rasa).
Anda juga pernah menganalisis, setelah Pemilu suhu politik tidak akan menurun tanpa transfer kekuasaan secara final dari generasi 1945 ke berikutnya…
Apa turun itu suhu politik kalau Pemilu dilakukan? Itu ‘kan (karena) ada pertikaian dan persatuan di antara pusat-pusat kekuasaan; dalam ABRI, dalam Birokrasi, di bidang Polkam.
Transfer yang final itu mutlak dilakukan?
Ya, harus, dong. ‘Kan, orangnya habis sendiri. Lha, habis sendirinya tapi tidak ada peralihan, yang baik jadi hancur.
Anda mengatakan, kalau MPR kembali memilih Pak Harto, NU akan mendukung. Kalau MPR memilih calon yang lain bagaimana?
Harus dicalonkan melalui MPR, melalui semua fraksi. Nah, kalau ada calon lain, berartikan urusannya MPR, bukan urusan NU
NU sendiri, selaku ormas yang besar, apa tak punya keinginan mengajukan calon lain?
Buat apa bikin pusing.
Nama Anda disebut-sebut Jendral (Purn.) Soemitro sebagai orang yang layak menjadi wakil presiden?
Biar saja.
Kalau calonnya Habibie?
Ya, nggak ada masalah kalau Habibienya mau, yang mencalonkan mau. Harus dua-duanya. Tapi, ya, terus orang geli, nggak pantas jadi wapres.
Kenapa tidak pantas?
Ya, (dia itu) emosional, lalu apa-apa sepihak, maunya menang sendiri.
Soal kerukunan umat beragama, masihkah kita punya masalah dengan hal itu, khususnya dikaitkan dengan peristiwa Situbondo?
Ya, kerukunan itu sendiri sudah ada. Sebanyak 190 juta rakyat tenang-tenang saja. Kerusuhankan hanya di satu-dua tempat. Pada umumnya ‘kan tidak ada masalah.
Benar nggak, kalau selama ini terkesan hanya umat Islam saja yang dituntut toleran?
Ya, memang dia yang gedhe.
Jadi, memang sudah semestinya?
Lha, iya.
Ini soal lain. Setelah 12 tahun Anda memimpin PBNU, kok, terkesan belum ada kaderisasi yang menonjol?
Kaderisasi tergantung levelnya: daerah, lokal. Daerah itu maksud saya propinsi, lokal kabupaten. Di bawah itu ada ranting, desa, ada kecamatan, majelis perwakilan cabang. Itu mereka artinya sudah terjadi proses yang baik, kombinasi antara yang tua dan muda itu rata. Mungkin kualitas atau tingkat pendidikan iya, dan sebagainya. Sama saja itu, sih bukan karena masalah tua-muda.
Di samping itu, pada level-pusat. Anda lihat sekarang tenaga-tenaga muda di pusat banyak sekali. Salah satu ketua, Fajrul Falaakh, sekarang lagi ke London untuk setahun sekolah, dia itu umumnya baru 35 tahun. Muktamar nanti belum 40 tahun. Kalau umpamanya dia sampai terpilih menjadi ketua umum, berarti ketua umum termuda. Tapi, seandainya dia tak terpilih, peluang lima tahun lagi masih besar, dan umurnya masih di bawah 45 tahun.
Dari sudut keahlian juga demikian. Kami di PBNU sekarang ini tenaganya macam-macam, ada rektor, ada pengusaha, ada orang bank, ada orang Universitas Indonesia. Adapun di bidang Syuriah, kualifikasi ilmu-ilmu agamanya orang-orangnya sangat tinggi: dari Amien Aziz, Zainahwatu Salam -mereka itu doktor dengan tiga master. Terus ada K.H. Ilyas Ruchiyat, Ketua Syuriah PBNU, KH. Sahal Mahfudz. Anda tahu sendiri, kiai top-top semua itu. Jadi, dari sudut ilmu pengetahuan agama, PB Syuriah NU yang sekarang ini sangat kuat dibanding yang dulu-dulu. Dari sudut Tanfidziyah, ragam profesinya juga luar biasa.
Masalahnya, orang ‘kan bertanya: Kok, Gus Dur lagi?
Bukan, bukan itu. Itu sih, nggak ada urusannya dengan kaderisasi. Masalahnya itu, kemarin itu (Muktamar Cipasung), seumpamanya kelompok-kelompok politik itu misalnya bilang, “Sudah, deh, selesai. Nggak usah ribut-ribut lagi,” saya juga akan mundur. ‘Kan, susahnya mereka itu mau menguasai medan terus-menerus. Jadi, dengan kata lain, ancaman dari pihak mereka itu masih sangat besar. Tapi, yang nanti ini sudah nggak calon ketua nggak paham agama.
Kalau begitu, tantangan masa depan apa yang paling menonjol bagi NU?
Ya, tetap saja, menurut saya, di satu sisi secara konseptual kami masih harus membenahi hubungan antara wawasan agama dan wawasan kebangsaan. Itu tetap karena belum tuntas sampai sekarang. Belum tuntas dalam arti secara formal sudah ada, tapi belum merupakan penghayatan sehari-hari. Karena, memang pengembangan susulannya itu kurang selama ini. Ya, tentu kurang karena perluasan wawasan belum terjadi.
Pemekaran wawasan, perluasan wawasan, itu memerlukan dialog terus-menerus. Nah, sekarang sedang dibikin oleh Syuriah PBNU, oleh Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam), juga oleh RMI dengan halaqah atau lingkaran studinya terus-menerus. Jadi, karena memang baru mulai, hasilnya juga belum merata dan belum terlihat. Ya, ini soal waktu. Tapi, begitu mereka selesai, masalah pengisian wawasan kebangsaan kaitannya dengan wawasan keagamaan itu nggak sulit. Jadi, mumpung masih baru.
Apakah itu proses yang panjang?
Ya, ‘kan sudah dimulai dari tahun 1984, sampai saat ini sudah 12 tahun. Jadi, masih memerlukan waktu sekitar sepuluh tahunan. Tapi kalau terjadi, itu mapan, sudah nggak jadi masalah. Seperti di negara-negara lain, hubungan antara agama dan negara itu sudah begitu jelas dan begitu pas. Sebaliknya, kalau di sini atau di negara-negara muslim lain, belum pas. Masih ada masalah-masalah.
Jadi, kita masih punya sejumlah agenda permasalahan yang berkaitan dengan wawasan keagamaan dan kebangsaan?
Ya, masih, dong, yaitu orang-orang yang omong “mayoritas-mayoritas” dan mengatakan bahwa mayoritas harus dapat pelayanan khusus atau bagaimana. Itu ‘kan mereka mau menciptakan eksklusivisme bagi mayoritas.
Jangan-jangan, masalahnya sekadar mempersoalkan jatah yang “normal” bagi mayoritas?
Anda mau mengatakan mayoritas itu jatahnya normalnya berapa? Sekarang ini memangnya nggak ada data? Yang mewakili Islam itu siapa? Apakah Pak Harto bukan pemimpin Islam? Para menteri bukan? Jendral-jendral bukan? Lalu siapa? Mereka itu maunya orang-orang itu mewakili kelompoknya sendiri, tapi menamakan diri sebagai perwakilan Islam. Dari mana mereka punya hak untuk itu? Dalam gerakan Islam saja mereka cuma kecil, kok, omong mewakili semua. NU yang lebih gedhe saja nggak berani sembarangan mengajukan klaim berhak mewakili mayoritas.
Itu, lho, saya nggak pahamnya ‘kan di situ. Selalu mereka mengatakan, “Mayoritas nggak kebagian.” Kalau mayoritas nggak kebagian. Lalu yang kebagian siapa selama ini?
Kalau dikaitkan dengan sikap pemerintah yang kini dinilai lebih akomodatif terhadap umat Islam, bagaimana?
Saya sudah omong bahwa gerakan Islam itu kurang pandai memanfaatkan peluang. Kenapa? Karena level pendidikan dan sebagainya, ‘kan? Pengalaman di dalam birokrasi dan sebagainya, ‘kan? Lalu, itu dikoreksi oleh Pak Harto. Oke, tapi koreksi itu jangan sampai membuat orang GR, dong. Bahwa mereka yang paling berhak, orang lain tidak. Itu yang salah. Koreksi itu harus menghasilkan kesadaran bersama bahwa gerakan Islam memperoleh porsi, tapi jangan dia lalu mau main sendiri, enak sendiri, atas kerugian orang lain.
Apakah sikap Anda ini ada kaitannya dengan kekhawatiran berkembangnya kembali radikalisme?
Lha, iya: radikalisme itu selalu vokal, teriaknya itu macam- macam, tapi sebenarnya kekuatannya nggak ada. Asal alur umum politik kita dan alur umum kehidupan tidak terpengaruh, nggak ada masalah. Minimal, pemimpin-pemimpin bangsa tak terpengaruhlah. Susahnya, mereka terpengaruh. Jadi, akhirnya, pengaruh mereka atau dampak dari langkah mereka menjadi tidak proporsional dengan jumlah mereka. Yang menjadikan saya khawatir itu bukan pada kekuatan mereka, tapi pada dampak yang tidak proporsional ini. Jumlah mereka kecil, jangan terlalu dianggap serius. Anggap saja nggak ada.
Ini soal lain lagi, Forum Demokrasi atau Fordem apa kabarnya?
Ah, biasa-biasa saja. Memang, dari semula, desainnya itu untuk menjadi semacam polisi lalu-lintas di kalangan mereka yang ingin berjuang untuk demokrasi. Lha, itu dari berbagai macam lembaga. Jadi, di situ tidak ada semacam kewajiban untuk aktif. Jadi Fordem bukan kelompok aksi, tapi sekadar forum refleksi, tukar-menukar informasi, menyamakan pandangan, meratakan pemikiran.
Jadi, kalau dikatakan, lho (Fordem) kok sepi-sepi saja, memang sepi. Bila dipandang perlu, ada hal-hal baru yang ingin kami kemukakan, ya, bikin statemen.
Fordem sendiri ‘kan juga dianggap bermasalah?
Nggak apa-apa. Tambah enak.
Tapi, pemerintah akan menertibkan ormas, LSM, atau organisasi yang di nilai bermasalah….
Ya, saya pikir pemerintah itu kurang kerjaan. Terlalu jauh ngurusin. Seperti Forum Demokrasi ditempatkan nomor satu. Ada Yayasan Lembaga Pendapat Umum (YLPU), itu kantornya saja sudah nggak ada. Nanti, kalau punya duit, saya yang bikin itu. Lha, yang begini kok dimasukkan daftar organisasi bermasalah, bikin saya ketawa. Jadi, itu bukan LSM-nya yang bermasalah, tapi polkamnya. Kok, terlalu ngabis–ngabisin energi begitu.
Ini terlalu jauh. Ya, memang ada LSM yang, katakanlah, membuat agitasi atau membuat langkah-langkah yang dinilai bisa menggoyahkan situasi. Tapi, kalau untuk merobohkan negara, nggak bakal. Itu satu.
Lalu, kedua, ini kesannya disimpul-simpulkan sendiri, kemudian takut-takut sendiri. Jadi, kayak orang menggambar setan, terus takut sama gambar itu. Konyol, begitu, lho. Lha, kayak Forum Demokrasi (dipersoalkan), itu lucu. Katanya karena tidak terdaftar di Departemen Dalam Negeri. Lha, bagaimana mau terdaftar kalau dilihat dari latar belakangnya? Ini ada ceritanya. Saya waktu itu diundang pertemuan dengan Kabakin, Wakabakin, empat Deputi, sepuluh Direktur kurang apa coba? Nah, di sana, bicara-bicara tentang Forum Demokrasi, kanan-kiri, ngalor–ngidul. Lalu tercipta konsensus. Satu, Fordem bukan organisasi. Dua, dia bukanlah lembaga politik. Tiga, dia tidak punya anggota karena itu juga tidak punya pengurus. Empat, dia bukan atau tidak menjadi oposisi.
Lalu, kalau bukan organisasi, tidak punya pengurus, tidak punya anggota, lalu di suruh mendaftar, ini ‘kan aneh. Ha-ha-ha…….. Dengan kata lain, mereka tidak ada koordinasi dengan Bakin rupanya. Padahal, hal itu sudah kami keluarkan di koran. Jadi, waktu habis ketemu dengan Bakin, saya omong di koran bahwa kami sudah ketemu, dan saya berjanji bahwa Forum Demokrasi akan tetap berpegang pada empat kriteria itu. Jadi, lucu sekali.
Apa mungkin karena menjelang Pemilu ada ketakutan berlebihan semacam itu?
Di satu pihak, mungkin. Di pihak lain, saya melihat tentang tidak jelasnya yang mereka mau itu apa. Jadi, istilahnya, asal aktif saja. Tapi, nggak jelas arahnya mau ke mana.
Soal kasus wawancara Uskup Belo, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengimbau agar tidak buru-buru memberi cap bahwa Uskup Belo telah mengeluarkan pernyataan yang salah sebelum tahu duduk perkaranya…..
Ya, sama saja, saya juga begitu. Kemarin, saya ‘kan sudah mengatakan begitu. Begini, ya, kita itu harus memperlakukan prinsip praduga tak bersalah. Sampai terbukti benar Uskup Belo bersalah, baru kita mau proses bagaimana, terserah. Kedua, kita dalam menimbang Uskup Belo harus tahu baik dan buruknya orang itu. Satu kebaikannya, yang saya rasa itu menjadi alasan dia menerima hadiah Nobel, adalah dia dengan usaha keras akhirnya berhasil membuat rakyat Timor-Timur itu tidak terpengaruh Fretilin, sehingga tidak ngganggu tentara kita lagi. Dengan demikian, dia membuat konflik militer yang ada itu terhenti.
Nah, yang demikian itu ‘kan berarti memperkecil kerugian dan korban. Walaupun bukan dia satu-satunya, dia punya pengaruh besar pada rakyat Timor-Timur dalam hal ini. Jadi, sumbangannya tidak kecil tentu terhadap integrasi nasional.
Nah, masalah dia juga sering bersikap kritis kepada pemerintah terutama kepada ABRI. Ini kekurangan dia. Orang ‘kan harus diambil kelebihan dan kekurangannya. Tapi, bagaimanapun, sebagai putra Indonesia, dia telah menjunjung tinggi nama bangsa dengan memperoleh hadiah Nobel.
Jadi, Anda menilai Belo pantas menerima hadiah Nobel?
Ya, nggak tahu, ya. Saya mau bilang pantas-nggak pantas, saya nggak kenal dia. Mempelajari secara mendalam pemikirannya juga nggak. Saya tahunya cuma itulah, peran dia.
Soal integrasi Timor-Timur, menurut Anda, masih banyak PR yang belum diselesaikan?
Oh, ya, banyak. Terutama begini, ya: klaim kedaulatan kita atas Timor-Timur baru diterima oleh sejumlah negara. Mayoritas di PBB itu belum mau menerima hal itu. Jadi, itulah PR yang harus dikerjakan. Tentu saja orang punya alasan bermacam-macam. Di antaranya yang paling serius adalah masalah penentuan nasib sendiri yang dilakukan tahun 1975 di Timor-Timur apakah itu sudah bisa dianggap memenuhi syarat atau tidak. Di sini letak perbedaan antara kita dan mereka yang menolak kedaulatan kita itu. Tapi, persoalannya, bukan sekadar kita merasa benar, tapi bagaimana peran itu dapat diterima orang lain. Nah, di sini harus ada kelenturan sikap dengan tetap berpegang pada prinsip. Kita ini suka nggak lentur. Kita biasanya cuma marah dan diam. Jadi kurang efektif.
Sebetulnya, Horta itu nggak berhak mendapat Nobel. Dia dapat karena dia memanfaatkan kekakuan pemerintah kita saja. Dia bikin serangkaian insiatif yang kelihatannya seperti benar-benar serius. Dan, pemerintah kita selalu menolak. Dengan kata lain, kita kena dibodohin saja sama Horta.
Kembali ke soal kasus Situbondo, apakah ada konflik agama dalam kasus ini?
Ya, muatan agamanya sebenarnya sangat kecil. Yang besar, ya muatan politiknya itu.
Jadi, ada yang memanfaatkan kasus itu untuk kepentingan politiknya sendiri?
Ya, barang itu dibikin dari luar. Yang omong begitu Pangdam Brawijaya. Itu direncanakan. Rapatnya di Jember, itu ‘kan di luar Situbondo. Yang kedua, Menteri Agama, dalam pembicaraan-pembicaraan pribadi dengan berbagai orang menyatakan bahwa yang terlibat di Situbondo itu antara lain orang-orang Madura yang terusir dari Timor-Timur dan tinggal di Malang. Itu sesuai dengan keterangan saksi mata di sana, yang mendapat laporannya dari daerah. Ada dua ratusan sepeda motor dengan plat Nomor “N”, itu kan Malang. Kalau di Situbondo ‘kan “P”. Jadi, jelas itu ada unsur luar masuk.
Ada rekayasa pihak tertentu?
Ya, ya…
Apa ini langkah untuk mendiskreditkan NU?
Saya membacanya, yang melakukan (perusakan dan sebagainya itu) kira-kira tidak cukup satu pihak, tapi berbagai pihak dan ada tumpang tindih kepentingan. Ada yang dalam rangka persaingan pusat-pusat kekuasaan itu sendiri, di pihak lain ada juga yang memang mau ngerjain NU, khususnya saya.
Siapa mereka itu?
Ya, nggak usah disebut namanya.
Katanya, ada juga yang khusus diberangkatkan dari Jakarta?
Saya malah nggak tahu. Kalau ada, ya, lebih lengkap lagi. Lebih lengkap skenarionya, dan lebih lengkap bahwa memang tidak hanya satu pihak. Ada juga yang memang datang dari Surabaya.
Tapi, itu nggak penting, siapa mereka itu nggak penting. Yang penting, ternyata kekukuhan masyarakat kita, kemantapan bangsa kita cukup sehingga tidak mudah dimainkan atau digoyang oleh kejadian semacam itu, proyek-proyek semacam itu. Lihat saja, begitu terjadi, langsung kontak-kontak dijalankan. Langsung ada langkah-langkah untuk menetralisasi. Terakhir, KSAD datang ke Situbondo, tatap-muka dengan para ulama yang saya saksikan sendiri.
Jadi rangkul-rangkulannya dengan KSAD ikhlas, ya?
Ya, ikhlas,sih, ikhlas, cuma nggak ada dampak apa-apa. Jangan dibaca sebagai langkah politik. Saya diundang oleh teman-teman, KSAD mau datang ke Situbondo, menjelaskan tentang apa yang terjadi di Situbondo kepada para ulama sana. Sekalian mau nyekar ke makamnya Kiai As’ad. Nah, itu ‘kan kehormatan untuk pesantren. Berarti (kehormatan) untuk NU juga. Saya ke sana. Bahwa di sana lalu salaman sama Pak Hartono, lalu ada kesan begini-begitu, ya, namanya juga kesan. Kesan itu ‘kan nggak sama dengan kenyataan.
Apa yang dibicarakan KSAD dengan ulama?
Yang saya senang, KSAD menyebut dua hal, Pertama, keterangannya bahwa melihat pembangunan gereja oleh umat Kristen janganlah seperti (melihat) orang Islam. Orang Islam itu satu kampung cukup satu Masjid, karena semua juga salatnya di situ. Karena apa pun alirannya, kalau Islam. Salatnya ‘kan satu. Nah, kalau di Kristen itu nggak bisa karena tata caranya berbeda-beda di antara berbagai aliran. Karena itu, mereka membutuhkan jumlah gereja yang dibandingkan dengan umatnya lebih banyak gerejanya.
Yang kedua, pemerintah harus membangun kembali bangunan-bangunan yang dihancurkan, sebagianlah. Artinya, pemerintah mengambil insiatif. Persoalan dana dari mana, ya nggak tahu.
Persoalannya, apakah hal itu bisa diterima oleh umat Islam. Kenyataannya ulama-ulama keberatan. Bagi mereka, yang terpenting itu yang sudah dapat izinlah yang boleh dibangun lagi. Yang tidak, ya, jangan.
Banyak orang bilang posisi wapres sekarang sangat penting…..
Nggak tahulah. Dari dulu, wakil presiden itu penting juga. Jabatan wapres itu terpisah dari jabatan presiden hanya oleh satu detak jantung.
Jadi, kalau detak jantung itu berhenti, otomatis berubah?
Lha, iya. Orang Inggris bilang begitu. Di Amerika orang bilang Al Gore itu posisinya a heartbeat from the president’s satu detak jantung terpisah dari kepresidenan.
Karena itu, apa tak perlu ada pengetatan kriteria untuk wapres mendatang?
Nggak tahu. Ngapain mikirin begituan, seperti kurang pekerjaan saja.
Wah, tetap tak berniat politik praktis, tetap berpegang pada Khittah?
Lha, iya! Nggak perlu repot-repot. Kerjanya NU, menurut Muktamar, pertama adalah pendidikan. Yang kedua adalah Dakwah. Yang ketiga adalah peningkatan taraf hidup sosial ekonomi warga. Kalau kami mengerjakan yang ketiga itu saja, pahalanya sudah banyak.
Kok, bisa bersikap selepas itu sebagai pimpinan ormas yang begitu besar…..
Ya, justru karena saya memimpin ormas yang besar, saya harus berani lepas. Kalau nggak berani lepas dan nggak berani tanggung risiko, kasihan yang dipimpin, nggak jelas, nggak ada kemajuan
Sebagai pemimpin ormas besar Anda begitu sering bepergian, bagaimana dengan waktu untuk keluarga?
Ah, ya, ada. Yang penting itu bukan kuantitas, tapi kualitas. Anak-anak itu sadar banget apa yang saya inginkan, apa yang saya kehendaki. Saya juga demikian. Lalu saling menyesuaikan. Anak saya ‘kan aktif, giat dan nggak ada permasalahan yang pokok.
Mereka tidak mengeluh?
Ya, namanya anak, ya, complain. Kadang-kadang, ya complain. Tapi, mereka mengerti. Yang penting anak itu tidak merasa ditelantarkan, tidak merasa disepelekan. Kenapa? Setiap kali mereka membawa masalah, minta pertimbangan, minta duit, atau apa sajalah. Kami memberi perhatian. Kami coba menyelesaikan masalah itu bersama.
Di rumah, sikap Anda bagaimana? Otoriter?
Saya itu memberikan kebebasan kepada mereka, mau apa saja. Asalkan tahu persis, satu ini dua itu. Ada hal-hal di antaranya pergi ke mana lewat jam sekian harus dikasih tahu di mananya. Kadang- kadang dilanggar, tapi harus ada alasan yang jelas. Yang kedua, pelajaran nggak boleh dilalaikan. Jadi, ada beberapa patokan. Dan, mereka disiplin mengikuti saya. Tidak usah disuruh-suruh. Ada yang saya disiplinkan sekali, yaitu nggak boleh membedakan o-rang.
Bagaimana dengan Mbah Moeslim, yang katanya guru spiritual Anda?
Ya, nggak hanya Mbah Moeslim, banyak kiai. Di antaranya saya baru dari sana. Madura. Ketemu Kiai Hamsad di Bangkalan. Ia ini pakai bakiak ke mana-mana. Jago silat, pakai bakiak. Kalau orang biasa pakai bakiak ‘kan jatuh. Pengaruh Kiai Hamsad besar sekali. Yang menjemput saya di Kamal, di pelabuhan, 2000 sepeda motor.
Diarak, dong?
Itu, sih, biasa. Orang NU, sih biasa. Pernah saya dikawal Land-rover. Land–rovernya jalan duluan. Di tengah jalan, Land–rover itu kehabisan bensin, lalu beli bensin di pinggir jalan. Kami yang dikawal, sih, terus saja jalan, ha-ha-ha….