Yang Sama dan Yang Benar
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
MENGAFIRKAN orang jelas tindakan salah. Tidak seluruh penganjur agama melakukannya, tetapi tiap kali masih terdengar juga “hukuman” seperti itu.
Seorang pejabat tinggi bulan Januari dimaki-maki sebagai murtad, karena menyatakan semua agama sama di negeri ini — dan kemurtadan itu akan membawanya ke api neraka. Masalahnya, toh, akan terserah kepada Tuhan. Tapi, yang merisaukan adalah mudahnya sumpah serapah keluar dari para penganjur agama. Waktu pemilu ada mubalig berkampanye, bertanya kepada hadirin, pilih mana antara “bau kiai” dan “kiai bau”. Bau kiai, bukan kiai, namun setia dan bergaul dengan kiai. Kiai bau adalah kiai yang sudah memperlihatkan kebusukannya, seperti juga istilah “bekas santri” dan “bekas pencuri”.
Generalisasi seperti itu merugikan. Karena sebelum ada pilihan antara yang baik dan yang buruk, orang sudah “dibiasakan” memburukkan kiai dan meremehkan kesantrian. Dalam kasus mubalig yang memurtadkan pejabat tinggi, rakyat didorong untuk memadukan antara sikap agama dan kejengkelan terhadap keadaan. Pejabat Anu murtad karena bersikap salah dalam soal agama. Secara tersirat diajukan klaim bahwa perbedaan pendirian antara agama dan negara, dua lembaga yang sama-sama abstrak, harus berakhir dengan kesalahan pihak negara.
Prinsip bahwa agama memegang kebenaran transendental memang dapat diterima. Karenanya, secara umum kebenaran agama dinilai lebih tinggi dari “kebenaran negara”. Mutlaknya kebenaran agama terbukti dengan penggunaannya sebagai landasan kehidupan bernegara: moralitas yang luhur, ketaatan kepada Tuhan, kewajiban melaksanakan ajaran agama, dan seterusnya.
Tidak ada negara yang membenarkan tindakan yang bertentangan dengan moral, kalau moralitas dirumuskan secara umum. Bahkan, yang paling diktatorial dan paling otoriter masih mendasarkan diri pada nilai-nilai abadi yang semula ditarik dari postulat-postulat keagamaan.
Namun, tidak berarti antara agama dan negara sama sekali tidak ada perbedaan sikap. Ajaran agama telah menetapkan persyaratannya sendiri bagi penetapan siapa yang berhak menjadi kepala pemerintahan. Juga menentukan apa saja yang menjadi hak dan kewajibannya. Namun, negara juga memiliki aturannya sendiri. Haruskah yang satu ditiadakan?
Pikiran waras tentu mengatakan tidak semudah itu — harus didudukkan pada proporsi masing-masing. Syarat dan kewajiban yang ditetapkan agama adalah tolok ukur ideal yang akan menentukan sempurna tidaknya sebuah pemerintahan. Sedang ketentuan negara menunjuk pada kenyataan nominal yang tidak boleh dikurangi. Kalau dikurangi, negara kacau dan agama juga mengalami hal yang sama dalam kehidupannya — kalau negara kacau
Karena itu, pemerintahan yang tidak mendasarkan diri pada ajaran formal agama secara tuntas bukan berarti harus ditolak. Selama ada kemungkinan melaksanakan dan memperjuangkan ajaran agama di dalamnya, negara seperti itu masih harus diterima. Kalau tidak, kaum muslimin di Uni Soviet sudah tentu harus memberontak sekarang. Tidak berontak berarti mengabaikan perintah Allah dan tidak boleh disantuni oleh muslim lain.
Padahal, kalau mereka berontak, mereka habis. Karenanya, mereka lalu melaksanakan penerimaan atas bentuk negara yang ada dan memegang teguh hak mengikuti ajaran agama dalam kehidupan masing-masing. Kalau tentang negara komunis yang secara resmi melegalisasi ateisme saja orang beragama tidak diharuskan melakukan pilihan, apalagi dalam kasus negara yang masih menjunjung tinggi kebenaran agama.
Bagaimana kerangka umum hidup bernegara tempat adanya perbedaan sikap antara agama dan negara akan diterapkan, kalau ada sesuatu yang dianggap membahayakan “kebenaran agama”? Bagaimana harus dilerai, kalau ada anggapan yang berbeda antara keduanya, seperti dalam kasus pejabat yang menyamakan semua agama sama?
Kalau kita berkepala dingin, pertama kali kita harus mampu membedakan antara berjenis-jenis “kesamaan”, yang di mata agama dan yang di mata negara. Kesamaan di mata agama berkait dengan masalah kebenaran inti ajaran, sedangkan kesamaan di mata negara adalah status di muka undang-undang, kedudukan di muka hukum. Tidak ada agama yang mau melepaskan “hak tunggal”-nya untuk memonopoli “kebenaran ajaran” Forum keagamaan formal paling “longgar” sekalipun, Konsili Vatikan II atas prakarsa Paus Yohanes XXIII, masih mempertahankan “monopoli kebenaran” itu. Forum itu dapat memahami dan menerima upaya mencapai kebenaran mutlak Tuhan dengan tidak mengurangi kebenaran yang sudah dicapai keimanan Kristiani.
Islam pun bersikap demikian, karena Alquran sudah menetapkan agama yang benar di sisi Allah adalah Islam. Namun, tidak berarti negara tidak boleh memberikan perlakuan yang sama kepada semua agama. Sebaliknya, keutuhan negara hanya akan tercapai kalau ia memberikan perlakuan sama di muka hukum. Persamaan teologis antara dua agama tidak akan mungkin ada — kalau diartikan sebagai hak merumuskan kebenaran mutlak Tuhan. Namun, persamaan kedudukan di muka hukum dapat ditegakkan selama ada yang memberikan perlakuan yang sama.
Kita seharusnya memahaminya dengan kearifan. Dan kearifan seperti ini tidak dapat “dimurtadkan”, karena di dalamnya esensi klaim agama akan kebenaran masih terjaga sepenuhnya.