Yang Terbaik Berada di Tengah
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Judul di atas diilhami oleh jargon populer: “Sebaik-baik persoalan adalah yang berada di tengah (khairu al-umûr aus-âthuha).” Ia juga bisa mencerminkan pandangan agama Buddha tentang “jalan tengah” yang dicari dan diwujudkan oleh penganut agama tersebut. Walaupun demikian, judul itu dimaksudkan untuk mengupas sebuah buku karya tokoh Syi’ah terkemuka Dr. Musa al-Asy’ari, Menggagas Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan –dalam sebuah diskusi di kampus Universitas Darul Ulum Jombang, beberapa waktu lalu. Katakanlah sebagai sebuah resensi, yang juga semacam analisa terhadap kecenderungan umum mengambil “jalan tengah” yang dimiliki bangsa kita, dan mempengaruhi kehidupan di negeri ini.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari, sikap mencari jalan tengah ini, akhirnya berujung pada sikap mencari jalan sendiri di tengah tawaran penyelesaian berbagai persoalan yang masuk ke kawasan ini. Namun, sebelum menyimpulkan hal itu, terlebih dahulu penulis ingin melihat buku itu dari kacamata sejarah jalan hidup banyak peradaban dunia. Kalau kita tidak pahami masalah tersebut dari sudut ini, kita akan mudah menganggap “jalan tengah” sebagai sesuatu yang khas dari bangsa kita, padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian.
Bahwa bangsa kita cenderung untuk mencari sesuatu yang “independen” dari bangsa-bangsa lain, merupakan sebuah kenyataan yang tidak terbantahkan. Mr. Muhammad Yamin, umpamanya menggangap kerajaan Majapahit memiliki angkatan laut yang kuat dan menguasai kawasan antara Pulau Madagaskar di lautan Hindia/Samudera Indonesia di Barat dan Pulau Tahiti di tengah-tengah Lautan Pasifik, dengan benderanya yang terkenal Merah Putih. Padahal, angkatan laut kerajaan Majapahit hanyalah fatsal (pengikut) belaka dari Angkatan Laut Tiongkok yang menguasai kawasan perairan tersebut selama berabad-abad. Kita tentu tidak senang dengan klaim sejarah tersebut karena mengartikan kita lemah di hadapan Tiongkok. Tetapi kenyataan sejarah berbunyi lain, Australia, misalnya, yang menjadi dominion Inggris, secara hukum dan tata negara, memiliki indenpendensi sendiri terlepas dari negara induk.
Penulis melihat, bahwa sejarah dunia penuh dengan penyimpangan-penyimpangan seperti itu. Umpamanya saja, seperti ditunjukkan oleh Oswald Spengler dalam Die Untergang des Abendlandes (The Decline of The West). Dalam buku itu digambarkan, ternyata kejayaan peradaban Barat dalam abad ke-20 ini mulai mengalami keruntuhan (Untergang). Filosof Spanyol kenamaan, Ortega Y Gasset, juga menunjuk kepada tantangan dari massa rakyat kebanyakan dalam peradaban modern ini terhadap karya-karya dan produk kaum elit, seperti tertuang dalam bukunya yang sangat terkenal Rebellion of the Masses (Pemberontakan Rakyat Kebanyakan).
Kemudian itu semua, disederhanakan oleh Arnold Jacob Toynbee dalam karya momentumnya yang terdiri dari 2 jilid, A Study of History. Toynbee mengemukakan sebuah mekanisme sejarah dalam peradaban manusia, yaitu tantangan (challenges) dan jawaban (responses). Kalau tantangan terlalu berat, seperti tantangan alam di kawasan Kutub Utara, seperti yang dialami bangsa Eskimo, maka manusia tidak dapat memberikan jawaban memadai, jadi hanya mampu bertahan hidup saja. Sebaliknya, kalau tantangan dapat diatasi dengan kreativitas, seperti tantangan banjir sungai yang merusak untuk beberapa bulan dan kemudian membawa kemakmuran melalui kesuburan tanah untuk masa selanjutnya, maka akan melahirkan peradaban tepi sungai yang sangat besar, seperti di tepian Nil, Tigris, Euphrat, Gangga, Huang Ho, Yang Tse Kiang, Musi, dan Brantas. Lahirnya pusat pusat peradaban dunia di tepian sungai-sungai itu, merupakan bukti kesejahteraan yang tidak terbantah.
Jan Romein, seorang sejarawan Belanda, penulis buku Aera Eropa ia menggambarkan adanya PKU I (Pola Kemanusiaan Umum pertama, Eerste Algemeene Menselijk Patron). PKU I itu, menurut karya Romein tersebut memperlihatkan diri dalam tradisionalisme yang dianut oleh peradaban dunia dan kerajaan-kerajaan besar waktu itu, berupa masyarakat agraris, birokrasi kuat di bawah kekuasaan raja, yang moralitasnya sama di mana-mana. Pada abad ke-6 sebelum masehi, terjadi krisis moral besar-besaran yang disusul dengan munculnya nama-nama Lao Tze dan Konghucu di Cina, Buddha Gautama di India, Zarathustra di Persia, dan Akhnaton di Mesir. Para moralis hebat ini mengembalikan dunia kepada tradisionalismenya, dengan memperkuat “keseimbangan”. Sebaliknya, para filosof Yunani Kuno, membuat penyimpangan pertama terhadap PKU I itu, dengan mengemukakan rasionalitas sebagai ukuran perbuatan manusia yang terbaik. Penyimpangan-penyimpangan PKU I ini diikuti oleh penyimpangan-penyimpangan lain oleh Eropa seperti kedaulatan hukum Romawi (Lex Romanum) pengorganisasian kinerja, Renaissance (Abad Kebangkitan), Abad Pencerahan (Aufklarung), Abad Industri, dan Abad Ideologi. Dengan adanya penyimpangan itu, Eropa memaksa dunia untuk menemukan PKU II (Tweede Algemeene Menselijk Patron), yang belum kita kenal bentuk finalnya. Nah, kita menolak teokrasi (negara agama) dan sekularisme, dengan mengajukan alternatif ketiga berupa Pancasila. Kompromi politik yang dikembangkan kemudian (dan sampai sekarang belum juga berhasil) sebagai ideologi bangsa, menolak dominasi agama maupun kekuasaan anti agama dalam kehidupan bernegara. Karena sekularisme dipandang sebagai penolakan kepada agama dan bukannya sebagai pemisahan agama dari negara, maka kita merasakan perlunya mempercayai Pancasila yang menggabungkan Sila Pertama (Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa), dan sila-sila lain yang oleh banyak penulis dianggap sebagai penolakan atas agama.
Buku yang ditinjau penulis ini, sebenarnya adalah upaya dari jenis yang berupaya menyatukan “kebenaran agama” dan ilmu pengetahuan sekuler (dirumuskan sebagai kemerdekaan berpikir oleh pengarangnya). Jelas yang dituju adalah sebuah sintesa baru yang terbaik bagi kita, dari dua hal yang saling bertentangan. Apakah ini merupakan sesuatu yang berharga, ataukah hanya berujung kepada sebuah masyarakat (dan negara) “yang bukan-bukan”?