Apa yang Kau Cari Golput?

Sumber foto: https://pemilu.tempo.co/read/1792161/mengajak-orang-lain-golput-apakah-sanksinya

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

TULISAN ini terilhami film Apa Yang Kau Cari Palupi, garapan sineas (alm) Asrul Sani. Baru-baru ini sebuah radio swasta niaga di Jakarta membahas tindakan sekelompok orang yang tidak akan memberikan suara dalam pemilu mendatang. Selama dasawarsa terakhir ini, fenomena itu dinamai golput alias golongan putih.

Ini dapat dipahami karena kekecewaan luar biasa pada hasil pemilu lalu. Semula, mereka berharap pemilu menghasilkan parlemen yang benar-benar mewakili rakyat; eksekutif dipimpin tokoh-tokoh yang setia pada konstitusi, jujur, dan terbuka; yudikatif dapat menghilangkan hal-hal negatif, seperti “mafia peradilan”, yang ditandai korupsi para hakim dalam memutus suatu perkara.

Harapan itu sia-sia. Korupsi, kolusi dan nepotisme bukan hilang malah kian merajalela. Ini ditunjukkan dengan adanya persekongkolan dalam menentukan keputusan yang diambil dalam mengelola keuangan publik di eksekutif. Anggota legislatif menjadikan kantor DPR sebagai “showroom mobil termahal” dengan peragaan mobil-mobil mewah.

Tiap undang-undang (UU) yang dihasilkan menelan biayamewah miliaran rupiah karena untuk menyogok “yang mulia” anggota legislatif agar memberikan suara seperti dikehendaki pihak yang menyogok. Pihak eksekutif tidak mau kalah sehingga terjadi perlombaan yang amat memilukan dan menyayat hati kita. Apalagi bila eksekutif dan legislatif, terutama tingkat pimpinan, bersatu meminta yudikatif tak melaksanakan UU, seperti pembebasan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung dari tuntutan hukum yang diputuskan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sebelumnya.

Tidak heran jika orang khawatir hal ini akan terus berjalan bila pemilu tetap berlangsung. Dalam pandangan banyak orang, pemilu hanya akan menghasilkan kemenangan kembali parpol-parpol yang kini menguasai pemerintahan.

Dengan demikian, hanya tindakan melakukan boikot atas pemilu, atau dengan sebutan golput, yang dapat menunjukkan kepada khalayak dan kalangan tertentu di dunia bahwa putra-putra terbaik Indonesia tidak ikut pemilu. Jadi, apa pun hasil pemilu, itu akan menjadi sia-sia. Dukungan moral bagi pemerintahan hasil pemilu akan hilang secara keseluruhan. Dengan demikian, mereka merasa tidak ikut bertanggung jawab lagi atas hasil pemilu itu sehingga pemilu akan kehilangan makna yang sebenarnya karena langkanya legitimasi.

***

HAL itu sudah dapat diperkirakan setelah mendengar ucapan M. Fadjroel Rachman sebagai nara sumber saat itu. Kata-kata yang dikeluarkan menunjukkan, ia adalah salah satu eksponen gagasan itu. Muncul pertanyaan, pantaskah ia bersikap seperti itu, apa pun alasannya? Tidak mengherankan jika reaksi demi reaksi, berdatangan, baik melalui telepon atau layanan pesan singkat (SMS), kepada radio swasta itu. Hampir seluruhnya menuntut pemboikotan total. Ini adalah contoh sebuah perkembangan politik dan komunikasi yang perlu diperhatikan lebih jauh.

Pesimisme atas hasil pemilu merupakan pemicu sikap mendorong golput. Pesimisme itu disebabkan banyak hal, yang akhirnya menimbulkan sikap tidak memercayai pemilu sebagai sesuatu yang tidak berguna. Kekecewaan demi kekecewaan melihat persiapan pemilu yang begitu rapuh membuat mereka akhirnya memutuskan tidak perlu mengadakan pemilu dengan biaya begitu mahal.

Masalahnya terletak pada hakikat pemilu itu sendiri yang diperintahkan sistem perundang-undangan kita, yang harus dilaksanakan tahun ini juga. Bagai Sabda Pandito Ratu, UU itu adalah sebuah “mantra” yang memerintahkan kita melakukan aneka persiapan teknis dan non-teknis bagi pemilu. Tidak peduli apakah persiapan itu jauh dari sempurna dan pemilu jadi ajang manipulasi suara.

Dari sekarang kita tahu hasil pemilu tidak akan memuaskan siapa pun. Namun, menyerahkan jalannya roda pemerintahan kepada para penguasa tanpa melalui pemilu rasanya amat berjauhan dari sikap hidup sebagai bangsa. Sebagai bangsa pejuang, kita sanggup hidup dalam keadaan apa pun tanpa kehilangan akal sehat. Kita tetap dapat membedakan mana yang benar dan salah. Dengan melakukan pemboikotan atas jalannya pemilu, berarti kita kehilangan keuletan berjuang dan hanya mengingini sesuatu yang dibuat orang lain dan disajikan orang lain di luar diri kita.

Penulis tahu benar kelemahan, kesalahan, dan kekurangan prosedur yang dipakai dalam pemilu nanti. Bahkan teman-teman penulis melihat sejumlah kawan yang kompeten dan memiliki persyaratan formal untuk menjadi caleg, namun mereka “dipotong” dari kemungkiran itu, baik oleh parpol sendiri maupun KPU. Selain itu, ada caleg yang masih menjadi pegawai negeri sipil saat masuk di daftar caleg yang disahkan KPU, dan KPU menolak mencoret namanya. Entah karena apa. Pelanggaran UU seperti ini ditoleransi KPU. Padahal, itu adalah tindakan kriminal yang setaraf dengan penyerahan ijazah palsu. Penulis tak kunjung mengerti mengapa dalam hal pertama KPU tidak mau melaksanakan kebenaran, sedangkan dalam kasus kedua bersedia melakukannya.

***

KASUS golput itu menunjukkan kepada kita, masih ada kesenjangan amat besar di antara kaum elite dan gagasan rakyat kecil, baik yang di desa maupun di kota. Jika kaum elite di kota benar-benar melakukan pemboikotan terhadap pemilu melalui pemunculan golput, penulis yakin, rakyat di pedesaan akan tetap turut pemilu melalui pemberian suara. Bila ini terjadi, berarti rakyat di desa atau di kota tidak memiliki kegamangan seperti dirasakan kaum elite itu.

Siapakah yang bersalah dalam hal ini? Kaum elite-kah yang tidak mencari tahu lebih dulu bagaimana sikap rakyat kecil terhadap pemilu, atau sebaliknya?

Terus terang, di mata penulis, rakyat kecil tidak bersalah karena tidak pernah memperoleh komunikasi yang cukup. Selain itu, kepercayaan rakyat kecil terhadap pemilu kita cukup besar. Jika harapan tidak menjadi kenyataan, mereka menganggap hasil buruk yang diperoleh dari pemilu hanya menjadi tambahan dari rangkaian penderitaan yang mereka dapati sebelumnya dari kaum elite, baik di dalam maupun di luar pemerintahan.

Bahwa mereka berani maju memberikan suara menunjukkan mereka tidak takut kemungkinan buruk, seperti dialami kaum elite yang terpelajar. Karena itu, dapat diduga, jika pemilu tidak menimbulkan bencana, para elite juga akan turut menikmati hasil. Kalau sudah begini, kita patut bertanya: apakah benar rakyat kecil tidak mempunyai kebijaksanaan (wisdom)? Karena itu, kita harus berhati-hati mengambil sikap. Ini mudah dikatakan, namun sulit dilakukan.