Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Ada satu hal yang sangat menonjol yang harus kita perhatikan dan sekaligus prihatinkan di bidang kehidupan keagamaan akhir-akhir ini. Yaitu bahwa di kalangan kaum muslim di negeri kita mulai terasa adanya akibat dari proses pendangkalan agama yang sudah berlangsung dan berjalan cukup lama. Pendangkalan agama itu kalau diurut ke belakang, sebenarnya dimulai dari interaksi antara Islam di Indonesia dengan Islam dari mancanegara, terutama Timur Tengah. Kita tahu bahwa Islam di sana sudah dijadikan ideologi atau katakanlah, komoditas politik, baik komoditas yang menindas maupun yang ditindas. Itu terjadi mulai dari Arab Saudi, Aljazair, Sudan, Maroko, Iran, dan pada titik-titik tertentu adalah Irak.
Maka Islam di sana menjadi sesuatu yang lain, atau muncul dengan warna lain, yang berkembangnya jauh berbeda dengan Islam di sini. Kita bisa memahami ini, karena Timur Tengah merupakan ajang pertarungan yang tidak pernah berhenti, di mana Islam berkonfrontasi dengan yang lain secara terbuka dan lugas. Sedangkan kita di Indonesia berada di ujung dunia yang paling aman, relatif tidak ada yang mengganggu, dan karenanya tidak ada kekhawatiran apa pun. Karena itu, cara kita melihat agama Islam juga lain. Tetapi ketika dari Timur Tengah ada tendensi, kira-kira 25 tahun yang lalu, untuk merasa khawatir terhadap nasib Islam, maka muncullah perasaan bahwa ada ancaman serius dalam bentuk tuduhan, umpamanya, Kristenisasi, dan sebagainya. Ini membuat semacam ada ketakutan terhadap agama lain yang akhirnya menimbulkan reaksi balik, yaitu sikap-sikap agresif terhadap (para pemeluk) agama lain. Di kalangan kaum muslim tertentu, sikap itu juga muncul secara asertif bahkan galak.
Dalam urutan yang panjang, tampaknya hal itu juga merupakan akibat dari proses pendidikan dan dakwah Islam selama 40 tahun terakhir ini yang cenderung bersifat memusuhi, mencurigai, dan tidak mau mengerti agama lain. Itu tidak hanya dilakukan mubalig-mubalig di mimbar, tapi juga guru-guru di sekolah. Sebabnya, pertama, mereka sedang mengalami masa transisi dari kehidupan tradisional ke kehidupan modern, yang kemudian berdampak kepada hilangnya akar-akar psikologis dan kultural. Kita misalnya melihat banyak anak-anak bahkan juga sampai orang dewasa, walaupun sudah hidup di kota-kota besar, mentalnya masih mental kampung. Mereka belum menerima modernisasi secara total. Selalu ada khawatir terlahirkan dari agama. Kedua, Islam telah dijadikan ajang kepentingan politik dan bendera politik yang dipakai untuk menghadapi orang lain. Ini satu contoh lagi dari proses pendangkalan agama: bahwa kepentingan Islam diletakkan dalam kepentingan yang eksklusif, dan menjadi kepentingan yang paling utama. Maka yang terjadi adalah eksklusivisme agama di kalangan kaum muslim. Inilah yang selalu diingatkan kepada kita oleh Cak Nur (Nurcholish Madjid). Dan menurut saya ini pula yang mengakibatkan munculnya peristiwa-peristiwa kerusuhan yang berkedok agama, seperti di Situbondo atau Tasikmalaya beberapa waktu lalu.
Politisasi agama sering kali bertolak dari persepsi teologis yang juga tidak selalu benar. Kaum muslim tidak mampu membaca di mana kepentingan Islam dan di mana pula posisi kaum nonmuslim, secara pukul rata dianggap sebagai musuh atau lawan. Pernah ada kritik yang dialamatkan kepada saya, karena saya dianggap terlalu dekat dengan kalangan non-muslim ketimbang dengan kalangan muslim. Tidak tanggung-tanggung kritik itu menyitir salah satu ayat Al-Qur’an bahwa “seharusnya pengikut Nabi Muhammad itu keras terhadap orang kafir dan santun kepada sesamanya” (Asyidda’u ‘ala al–Kuflar, ruhama–u bayna hum). Dengan mengutip Al- Qur’an, kritik itu tampaknya sangat serius, tetapi kekeliruan yang dilakukannya juga cukup serius. Yang dimaksud “keras terhadap orang kafir” dalam ayat itu bukan orang-orang nonmuslim, melainkan kaum kafir yang memerangi agama Islam (dalam konteks ayat itu, kaum kafir Makkah). Sudah tentu ada perbedaan antara orang nonmuslim dengan kaum kafir yang demikian, katakanlah kafir kategoris.
Kemudian mengenai ruhama–u bayna hum, juga dipersoalkan. Nabi Muhammad pernah menyatakan, “Law sarakat bintu Rasulillah lagatha’tu yadaha” (Seandainya Fathimah anak perempuan Rasul mencuri, maka akan kupotong tangannya). Apakah sikap Rasul yang demikian itu santun apa tidak? Santun! Karena beliau menyayangkan kalau-kalau Fatimah terjerumus lebih jauh. Tetapi dalam santun itu Rasul memotong tangan Fatimah (kalau ia mencuri). Maka pertanyaannya: ukuran kedekatan dan kesantunan itu apa? Apakah kalau tidak menyenangkan satu pihak dianggap tidak santun kepada (umat) Islam? Secara hipotesis, menurut hemat saya, esensi “saling menyantuni” justru terletak pada sikap-sikap di mana kita bisa saling mengoreksi sesama orang Islam.
Ada lagi satu ayat Al-Qur’an yang sering dikutip untuk membenarkan sikap dan tindakan anti toleransi. Yaitu ayat Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu sampai kamu yang berbunyi: Wahai Muhammad, sesungguhnya orang–orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu sampai kamu ikuti agama mereka. Kata “tidak rela” di sini dianggap melawan atau memusuhi, lalu dikaitkan dengan pembuatan gereja-gereja, penginjilan atau pengabaran Injil, dan sebagainya. Dua hal yang berbeda sama sekali diletakkan dalam satu hubungan yang tidak jelas. Padahal, kalau masalahnya didudukkan secara proporsional, kita tidak akan keliru memahami arti “tidak rela” di situ. Tidak rela itu artinya tidak bisa menerima konsep-konsep dasar. Itu pasti. Ibarat seorang gadis muda yang dipaksa kawin dengan seorang kakek, dia pasti tidak akan rela. Artinya, dia tidak bisa menerima konsep dasar bahwa dia akan berbahagia kalau kawin dengan kakek itu. Tapi belum tentu dia melawan atau memusuhi. Dia jalani itu, meskipun tidak rela, seperti Siti Nurbaya yang dipaksa kawin dengan Datuk Maringgih.
Bahwa Kristen dan Yahudi tidak bisa menerima konsep dasar Islam, itu sudah pasti. Sebab kalau mereka rela menerima, itu artinya bukan Kristen atau Yahudi lagi. Maksudnya, jawaban kebalikan dari ayat tadi juga bisa kita buat sama: Wa lan nardlo… dan seterusya. Kita ndak rela terhadap Yahudi dan Nasrani, misalnya konsep ketuhanannya, sebab memang sudah beda. Tapi itu tidak berarti ada permusuhan. Sekarang mari kita periksa dokumen-dokumen yang ada. Di antara butir-butir Konsili Vatikan II tahun 1965 Paus Yohanes ke-23 menyatakan: Kami para Uskup yang berkumpul di Vatikan dengan ini menyatakan rasa hormat yang setulus–tulusnya dan penghargaan yang setinggi–tingginya kepada pencarian kebenaran abadi menurut cara masing–masing. Tetapi kami tetap meyakini kebenaran bahwa kebenaran abadi itu terletak di lingkungan Gereja Katolik Roma.
Itu jelas. Dan dalam Islam pun begitu. Kita tidak akan goyang dari konsep tauhid, tapi kita menghargai pendapat orang lain. Dalam sejarah pun tercatat bagaimana para pendiri negara kita dulu bisa menerima bahwa konsep ketuhanan yang lain punya hal di Indonesia. Padahal, sebagian besar, yakni lima dari sembilan orang adalah wakil-wakil dari (gerakan) Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, K.H.A. Wahid Hasyim, Kahar Mudzakir, Agus Salim, dan Ahmad Subardjo, belum termasuk Soekarno dan Mohammad Hatta, sebab keduanya sering dianggap tidak mewakili Islam. Sebegitu jauh sikap lapang mereka, sampai mengakui bahwa semuanya itu ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidak ada pengecualian satu pun di situ.
Mengatasi Proses Pendangkalan
Kita kembali ke evaluasi mengenai kehidupan keagamaan di Indonesia. Pandangan bahwa orang beragama lain adalah musuh atau lawan sudah sedemikian menjalar, sehingga orang mudah sekali terpancing untuk membuat kerusuhan-kerusuhan atas nama agama. Kita mengakui bahwa memang telah terjadi proses pendangkalan dalam kehidupan beragama, sehingga mengakibatkan munculnya pertentangan. Kalau ada pertanyaan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi proses pendangkalan itu, jawabannya ada dua. Pertama, kita harus meyakinkan warga masyarakat agar tidak mudah dihasut. Sebab yang melakukan hal itu jelas tujuannya adalah politik. Kasus kerusuhan di Situbondo atau Tasikmalaya beberapa waktu yang lalu adalah contoh bagaimana eksplisitnya motif politik yang berdiri di belakang itu. Di Situbondo, orang-orang (para perusuh) dibayar Rp10.000.00 per orang. Di Tasikmalaya pun begitu. Yang melakukan pembakaran-pembakaran itu adalah orang-orang bertato dan tukang-tukang ojek yang dibayar. Lha, tukang ojek yang pendapatannya Cuma Rp5.000,00 setiap hari, tiba- tiba dapat Rp50.000,00, siapa yang tidak senang disuruh merusak lima kali juga pasti mau. Ini, sekali lagi adalah masalah pendangkalan agama. Artinya, orang-orang yang pemahaman agamanya dangkal mudah dihasut. Dan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan tuhan, tetapi dengan jabatan presiden: ada upaya destabilisasi menjelang pemilu dalam kerangka pemilihan presiden di MPR yang akan datang.
Kedua, kita harus menyadari bahwa tugas kita sekarang memang berat. Kita berhadapan dengan kenyataan campur aduknya agama dengan politik: kehidupan beragama yang mengalami pendangkalan dan manipulasi politika atas agama. Kalau keduanya sudah berjalan seiring, maka masalahnya akan semakin ruwet dan tidak akan tertolong lagi. Untuk menghindarkan percampuran antara politisasi agama di satu pihak dan pendangkalan agama di pihak lain, maka caranya adalah (a) mendalami pengetahuan agama kita kembali, dan (b) menyadarkan warga bahwa hubungan antaragama itu seharusnya dijalin atas dasar saling pengertian.
Mengembangkan Rasa Kebersamaan dan Saling Pengertian
Inilah yang paling krusial bahwa kita selama ini belum pernah mempunyai program dalam skala nasional, untuk saling mengerti dan memiliki kebersamaan antar umat beragama. Yang ada sekarang adalah program bertoleransi, bertenggang rasa. Apa yang timbul dari istilah yang dibuat pemerintah memang benar-benar cocok dengan keadaannya: kerukunan umat beragama. Artinya, sekadar rukun saja. Rukun itu artinya peaceful coexistance. Hidup berdampingan secara damai, tapi tidak saling mengerti. Padahal, yang harus kita kembangkan adalah rasa kebersamaan dan saling pengertian. Kita bisa menunjuk contoh dekat, umpamanya, soal pendirian gereja. Kalau ada gereja-gereja berdiri, orang-orang Islam berteriak. Itu karena mereka tidak mengerti kenapa orang Kristen butuh gereja. Orang-orang Kristen berbeda dengan kita, umat muslim, yang tanpa melihat apakah dan NU atau Muhammadiyah, Sunni atau Syi’ah, sipil atau militer, ulama atau awam, bahkan malingnya sekalipun bisa duduk bersama di satu masjid. Orang-orang Kristen tidak bisa begitu, karena mereka-mereka dibagi-bagi dalam sekte, sinoda, dan aliran-aliran yang berbeda-beda. Tiap aliran butuh gerejanya sendiri-sendiri, karena memang ritus dan liturginya berbeda-beda. Jadi, kalau sekian kilometer ada gereja itu tidak aneh. Bukan karena bersaing dengan orang Islam, melainkan bersaing dengan sesama mereka sendiri.
Ini perlu diterangkan terus-menerus supaya semuanya paham. Artinya, akan ada titik temu. Mau membangun gereja atau tidak, dasarnya adalah saling mengerti dan bukan saling menolak. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa kalau ada saling pengertian semuanya tidak akan sulit. Salah satu mengalah menurut situasi dan kondisi yang ada. Karena itu, saya menilai bahwa kita masih memerlukan adanya satu program keseluruhan, katakanlah nasional, di kalangan umat beragama untuk menyadarkan dan meningkatkan pengertian, sehingga tercapai kebersamaan antara umat beragama. Tetapi, sekali lagi, realisasinya bukan semacam wadah kerukunan beragama. Secara pribadi saya agak skeptis dengan wadah semacam itu. Sewaktu masih menjadi salah satu Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, saya pernah ditugasi untuk mewakili MUI dalam wadah kerukunan beragama. Saya tolak tugas itu, karena saya tidak dapat ngomong pura-pura. Saya tidak mau masuk dalam lingkungan, di mana kalau sedang sakit tidak berani bilang sakit, jika jelek juga tidak berani bilang jelek, semuanya terlihat baik, dan pada akhirnya tidak ada pembicaraan, tidak terjadi dialog yang diinginkan. Bak penjual kecap, sehabis teriak kecapnya nomor satu lalu tutup telinga. Yang lain juga demikian, gantian berteriak, kecapnyalah yang nomor satu. Begitu selanjutnya. Di situ tidak terjadi dialog. Yang terjadi adalah seri monolog, masing-masing bicara sendiri-sendiri orang lain tidak didengarkan. Kita tidak membutuhkan dialog model begitu. Yang dibutuhkan adalah dialog dalam arti yang sebenarnya. Alhamdulillah saya menemukan suasana seperti itu dalam lembaga yang bernama Interfidei atau Dialog Antar-Iman (Dian) di Yogyakarta. Anak-anak NU ikut aktif di dalamnya, dan mempelajari bermacam-macam pemikiran teologis.
Mengambil hikmah dari sejumlah kasus kerusuhan, terutama di Situbondo itu, ada keinginan lebih kuat lagi untuk berdialog antarumat beragama, untuk berkomunikasi, bahkan kalau bisa bekerja sama secara konkret. Misalnya, saya mempunyai pemikiran seandainya bermacam-macam pemuda di lingkungan agama yang berbeda-beda itu dapat berkomunikasi secara jujur satu bulan sekali, mereka dapat bertemu dan mengantisipasi perkembangan kalau ada masalah yang dapat diatasi bersama. Saya berkeyakinan bahwa orang itu bisa saling mengasihi, bisa memandang saudara hanyalah kepada mereka yang sama-sama memiliki kesulitan, sama-sama mengatasi kesulitan, baik kesulitan bersama, maupun kesulitan masing-masing.
Peristiwa Situbondo merupakan titik yang baik untuk dapat menyadarkan betapa pentingnya dialog yang intens antarumat beragama. Saya telah melakukan otokritis kepada umat Islam dan kalangan pemimpin Islam. Mereka, baik dalam kelompok organisasi, lembaga, yayasan, maupun perorangan, masih banyak yang menganggap tidak penting mengenal agama lain. Mereka mengekspresikan kesalahpahaman mereka tentang konsep ketuhanan agama lain, bahkan menghina keyakinan agama lain. Padahal, menghina Tuhan yang dianggap milik orang lain sesungguhnya juga menghina Tuhan agama milik kita sendiri. Karena pada dasarnya Tuhan itu hanya satu. Yang berbeda hanya konseptualisasinya.
Ada cerita yang terkenal di kalangan sufi tentang salik atau aspiran sufi, yakni pejalan pencari ilmu sufi yang sebenarnya atau makrifat. Sang salik sowan kepada mursyid, guru pembimbing sufi. Dalam perjalanannya berhari-hari itu dia bertemu dengan seorang beragama Nasrani. Maka berdebatlah mereka tentang konsep ketuhanan masing-masing. Akhirnya, sang salik mengatakan bahwa, “konsep ketuhanan Anda salah semua, karena kalau Anda monoteistik, Tuhan tidak boleh berbapak dan beranak”.
Mereka berpisah. Sang calon sufi terus berjalan dan sampailah dia di tempat sang mursyid, dia ditolak, tidak boleh masuk Menunggu di depan pintu duduk bersila seharian, tetap tidak diterima. Besok paginya dia datang lagi dan menunggu sampai sehari suntuk, tidak juga diterima. Lalu pada hari ketiga datang lagi dengan harapan dapat diterima. Ternyata sang guru tak bergeming untuk menerima calon sufi itu. Merasa tidak tahan, salik berteriak nyaring di luar agar didengar sang guru, “Guru….mengapa guru tidak mau menerima muridmu di saat muridmu memerlukan guru untuk mendapatkan pengertian yang sebenarnya tentang Tuhan”. Dari dalam guru menjawab, “Engkau tidak akan mengerti karena engkau tidak ngopeni zat Tuhan, melainkan hanya “baju”-Nya Tuhan”.
Apa yang bisa dipetik dari kisah sang salik? Kalau tidak mengetahui satu sama lain, semestinya tidak perlu melakukan kritik, koreksi, atau meluruskan konsep orang lain. Kalau itu tetap dilakukan akhirnya berantakan seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Karena itu, harus ada kesadaran untuk menghormati konsep agama lain. Penganut satu agama tidak perlu membicarakan secara negatif konsep agama lain. Soal-soal itu menjadi urusan masing-masing. Di dalam semangat kerohanian kita, sebenarnya di luar konsep ketuhanan juga di luar cara beribadat, konsep-konsep kemanusiaan kita, konsep-konsep kegunaan agama bagi kehidupan manusia, saya rasa hal itu dapat dipelajari bersama, dapat dikembangkan lebih jauh, dan kalau perlu diperdebatkan. Tentu perlu diketahui wilayah mana yang menjadi urusan agama masing-masing dan wilayah mana yang terbuka untuk didialogkan.