Fundamentalisme
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Kata fundamentalisme, sebenarnya telah berkembang dari artinya semula. Berangkat dari pengertian Kristen, ia berhenti pada pengertian untuk semua agama. Dalam pengertian semula, kata ini berarti gerakan-gerakan yang menunjukkan fanatisme agama dan militansi terhadap ajaran-ajaran kitab suci.
Kalau kaum Kristen mengatur kehidupan mereka berdasarkan fundamen-fundamen (dasar-dasar) yang disebutkan dalam kitab suci, maka jadinya adalah kaum yang lemah. Bukankan mereka yang memberikan pipi kanan kalau dipukul pipi kiri, mereka kaum yang lemah secara rasional?
Karenanya, mereka yang tidak setuju dengan semua yang dirumuskan kitab suci, lalu mencari fundamen-fundamen agama. Lahirlah apa yang dinamakan fundamentalisme agama, yaitu pencarian prinsip-prinsip yang mengatur kahidupan masyarakat yang sesuai dengan ajaran-ajaran agama dalam pandangan mereka. Ini harus dibedakan dari keinginan untuk mendasarkan kehidupan secara inspiratif dalam kehidupan bermasyarakat. Dari ajaran-ajaran formal agama, dicari prinsip-prinsip pengaturan kehidupan bermasyarakat, bukan dari pengertian harfiahnya.
Dari uraian di atas jelas bahwa dengan pendirian inspiratif seperti yang dimaksudkan tadi, merupakan pencarian prinsip-prinsi pengaturan hidup masyarakat dari agama yang dipeluk seseorang. Jadi, bukanlah dengan mengemukakan dalil-dalil formal agama melalui kutipan kitab-kitab suci. Nah, dari pengertian fundamentalisme seperti inilah arti kata itu digunakan bagi agama-agama lain.
Maka, lahirlah kata fundamentalisme Islam yang berarti pemahaman kata tersebut secara harfiah dari kitab suci al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw. Karenanya, istilah tersebut menimbulkan ketakutan yang sangat pada fenomena penerapan hukum Islam secara harfiah. Seolah-olah dengan demikian, setiap tindakan menegakkan semangat Islam adalah penerapan hukum agama secara formal.
Tidaklah terlihat adanya kemungkinan lain bagi fundamentalisme Islam. Karenanya, istilah itu menjadi kata kotor dalam mengenali Islam sebagai proses kemasyarakat. Bulu kuduk kita berdiri setiap kali mendengar istilah tersebut, tanpa ada kemungkinan memahaminya secara lain.
Penyimpangan
Dalam sebuah pertemuan antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Ketua UNICEF (Dana Darurat PBB untuk Anak-Anak), kepala perwakilannya yang ada di sini, membawa seorang bekas Menteri Perhubungan Ethiopia. Dikatakan bekas, karena ia baru saja berhenti dari kabinet dan kini tinggal di London. Mengapakah ia pilih mengungsi di negara lain? Karena ada masalah pribadi yang bisa membuatnya “mati”.
Penduduk Ethiopia 55% beragama Islam. Dengan demikian, ia dimasukkan dalam kabinet pada waktu itu guna mewakili kelompok yang besar, walaupun mayoritas muslim itu tidak diakui oleh dunia politik Ethiopia. Ia bersedia duduk di kabinet, walaupun di luarnya ada pihak garis keras yang menolak hal itu. Mereka justru menuntut agar Ethiopia di perintah oleh kabinet yang mencerminkan keadaan kaum muslimin sebagai kaum mayoritas.
Karena menteri yang satu ini justru tidak mengindahkan tuntutan ini, maka ia lalu diserang sebagai pihak yang mengacaukan tuntutan. Karena itu, ia pernah di serang sebanyak tujuh kali upaya pembunuhan, yang kesemuanya berasal dari gerakan Islam berhaluan keras. Bukankah hal itu berarti ada orang Islam yang tunduk pada kekuasaan kaum bukan muslimin, yang berarti penyimpangan dari al-Qur’an? Karenanya, bukankah orang yang demikian wajib dibunuh? Bukankah kabinet Ethiopia sekarang yang dipimpin presiden tidak beragama Islam, termasuk dalam apa yang dimaksudkan al-Qur’an itu?
Maka alangkah terkejutnya para anggota PBNU yang hadir dalam pertemuan itu ketika sang bekas menteri itu menjawab pertanyaan termasuk golongan apakah ia? “Saya adalah termasuk fundamentalis muslim”. Ternyata istilah itu di Ethiopia mempunyai konotasi lain, yang berbeda dari pengertian yang biasa kita pahami. Dalam percakapan selanjutnya menjadi jelas, sang bekas menteri itu mempunyai pandangan keagamaan yang sama dengan pendiriaan NU. Di negara orang yang berkulit hitam itu, kata “Fundamentalis Islam”, berarti orang-orang yang berpegang pada makna inspiratif agama tersebut, yaitu kelonggaran pada pihak lain, selama prinsip-prinsip Islam dihargai oleh setiap orang.
Dengan menggunakan istilah tersebut, sang bekas menteri bermaksud menjelaskan bahwa prinsip-prinsip yang diambil dari inspirasi keagamaan adalah penentu kehidupannya. Sama dengan pemimpin Islam, sama dengan NU, yang menggunakan Islam dengan pengertian demikian dalam hidup berpancasila di negeri ini. Bukankah dengan demikian, para pemimpin itu menggunakan fundamen-fundamen Islam dan bukannya kutipan-kutipan formalnya belaka? Bukankah dengan demikian, sang bekas menteri dari Ethiopia itu lebih mendekati pengertian harfiahnya dari kata “Fundamentalisme Islam” daripada yang kita kenal selama ini?
Lalu kalau kita gunakan pengertian bekas menteri dari Ethiopia tersebut, apakah istilah yang lebih tepat untuk kaum perusuh yang memaksakan kehendak atas nama Islam di negeri ini? Jawabnya, mudah saja, muslim radikal, atau istilah apa pun yang mengandung arti seperti itu.