Gatotkaca Anti-Israel
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Slogan itu tertulis pada jalan aspal, di muka sebuah gedung di Jalan Thamrin, Jakarta. Lucu juga: tokoh dunia wayang dihadapkan pada sebuah negara modern.
Tidak jelas apa yang mendorong Gatotkaca diambil sebagai musuh Israel dalam graffiti tersebut. Mungkin tokoh wayang itu perlu karena bangsa Arab dianggap sudah tidak lagi punya pemimpin yang sanggup menghadapi Israel tanpa kalah. Bahwa yang diambil adalah tokoh dunia wayang, itu lumrah: penulis iseng yang membuatnya adalah orang Indonesia – mungkin Jawa.
Mungkin pula Gatotkaca adalah tokoh yang paling dipujanya, dan Israel adalah tumpuan segala kebenciannya. Penelitian oleh LIPI atas beraneka ragam masyarakat di Indonesia menunjukkan sebuah hal menarik. Ternyata, remaja kita telah hilang tokoh-tokoh anutan yang aktual.
Ditanya tentang siapa tokoh yang menarik atau menjadi teladan, para remaja kita bungkam. Mereka lari kepada tokoh mitos, seperti Gatotkaca. Atau tokoh historis, seperti Gaja Mada atau Nabi Muhammad.
Hasil penelitian itu menunjukkan adanya sesuatu yang tidak beres dalam kehidupan remaja kita. Keadaan agaknya memaksa mereka kehilangan tokoh anutan konkret dari kehidupan nyata. Seolah-olah bangsa kita dipimpin sejumlah wajah tak beridentitas, sederetan jabatan dan nomor seri.
Sebagian hal itu disebabkan wajah pembangunan yang memang punya kecenderungan birokratis. Sepintas lalu pembangunan terasa sebagai pembangunan oleh mesin, bukan oleh manusia dengan impian dan visi yang manusiawi.
Maka tidak heranlah kalau muncul kecenderungan untuk mencari anutan semu dari dunia mitologi atau dari khazanah sejarah – sesuatu yang secara psikologis sebenarnya tidak mengherankan.
Tanpa ada tokoh anutan yang aktual, tak akan dapat para remaja menemukan “kemapanan identitas” yang wajar dan sehat. Proses identifikasi diri mereka jadi kerdil, dan ini membawa pada banyak hal yang memprihatinkan.
Semakin mudah para remaja melakukan tindakan kekejaman (karena tokoh Bonny dan Clyde juga begitu). Semakin sempit pandangan hidup mereka (karena tokoh mitos dan historis hanya memiliki sifat hitam putih belaka). Semakin deras pula arus eksklusivisme etnis dan agama (karena yang baik selalu harus bertempur hidup-mati dengan yang salah). Semua itu adalah implikasi hilangnya kredibilitas kepemimpinan yang dibiarkan berlarut-larut.
Akan tetapi, siapa tahu nanti akan muncul, setelah krisis kredibilitas hilang, pekik “jenderal anu memberantas kejahatan”, bukan sederet petugas tak berwajah, tak bernama.