Hubungan Luar Negeri Kita dan Hak Asasi
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Pada suatu hari di pertengahan tahun 1959, berkumpullah sembilan orang di rumah keluarga Kennedy di Hiyannisport. Tujuan mereka adalah untuk memperhitungkan kemungkinan pencalonan Senator Kennedy untuk pemilihan presiden AS tahun berikutnya serta menentukan strategi apa yang harus dipergunakan untuk merebut pencalonan itu.
Kesembilan orang itu, selain Kennedy tua, ketiga anaknya John, Bobby, dan Ted, terdiri atas teman-teman dekat keluarga itu, dan para pembantu sang Senator, yaitu Ted Sorensen dan Kenneth O’Donnel.
Mereka mendapati bahwa peluang bagi Senator John Kennedy sangatlah kecil, kalau pencalonan itu dilakukan menurut jalur politik Partai Demokrat di tingkat nasional. Tokoh-tokoh yang lebih berpengalaman dan berpengaruh lebih luas telah memenuhi jalur tersebut. Dari Senat saja sudah ada tiga calon kuat: Ketua Mayoritas Senat Lyndon Johnson, dan para Senator Hubert Humphrey dan Stuart Symington. Ada juga yang gubernur: Edmund “Pat” Brown dari negara bagian California. Tidak ketinggalan pula calon presiden yang dikalahkan Eisenhower dalam tahun 1952 dan 1956, Adlai Stevenson, yang masih besar karismanya.
Karena itu, mereka menetapkan strategi merebut pencalonan partai dari bawah. Caranya adalah berusaha memenangkan pemilihan pendahuluan (primary) di sebanyak mungkin negara bagian yang menyelenggarakannya.
Demikianlah, dengan penuh ketekunan dan kerja keras, mereka menyusun organisasi perebutan pencalonan itu pada tingkat ranting dan cabang Partai Demokrat di seluruh AS dengan sang senator dan kedua adiknya harus terus menerus berkeliling untuk mengadakan dialog langsung dengan anggota Partai di tingkat terbawah. Hasilnya, sebagaimana diceritakan Ted White dalam bukunya The Making Of The President: 1960, adalah kemenangan Senator Kennedy di kebanyakan pemilihan pendahuluan yang menentukan. Dengan membawa kemenangan itu, Kennedy dapat memaksa pimpinan partainya untuk memilih ia dalam konvensi nasional Partai Demokrat pada pertengahan tahun 1960. Tiga bulan kemudian ia memenangkan pemilihan presiden AS dengan mengalahkan lawannya, calon dari Partai Republik, Richard Nixon.
Kennedy memenangkan jabatan kepresidenan dengan mandat yang direbutnya dari bawah. Ia tidak merasa banyak berutang kepada cukong-cukong politik partainya yang tradisional. Karena itu, ia merasa mempunyai kebebasan penuh untuk menyusun sendiri kebijaksanaan pemerintahannya.
Di dalam negeri, kalau Presiden Eisenhower menekankan pada aspek pertumbuhan ekonomi dan keamanan (prosperity and security), Kennedy justru berani meriskir defisit dalam anggaran belanja untuk program-program latihan kerja bagi kaum penganggur, bantuan pangan bagi yang miskin, pembelaan hak-hak golongan kulit berwarna, dan seterusnya. Di luar negeri, Kennedy mengakui eksistensi kelompok ketiga yang tidak terikat dengan Blok Barat maupun Blok Timur, yaitu yang kemudian dikenal dengan sebutan negara-negara Nonblok. Padahal, pemerintahan Eisenhower memandang mereka yang tidak mau menjadi sekutu Amerika sebagai sekutu Rusia: mereka harus dijauhi dan dikucilkan. Paling ringan harus dicurigai.
Perubahan kebijaksanaan oleh pemerintahan Kennedy itu ternyata tidak berhenti dengan terbunuhnya presiden yang dinamis itu dalam tahun 1963. Perubahan itu ternyata menetap, bahkan tetap melandasi kebijaksanaan pemerintahan di AS hingga saat ini, 18 tahun kemudian.
Untuk merebut jabatan kepresidenan, Jimmy Carter harus menempuh jalan yang dilalui mendiang Kennedy. Ia bahkan belum dikenal di luar negara bagiannya, Georgia. Insinyur fisika nuklir yang pernah menjadi komandan kapal selam atom ini hanya pernah menjadi gubernur Georgia selama empat tahun sebelum kembali menjadi petani kacang di rumahnya.
Dengan dibantu stafnya yang muda-muda, seperti Hamilton Jordan dan Jody Powell, Carter dan isterinya, Rosalyn, harus berkeliling ke seluruh negeri mengunjungi pelosok-pelosok yang sepi untuk mencari dukungan bagi pencalonannya oleh Partai Demokrat. Pabrik-pabrik harus disinggahi pada jam 5 pagi untuk mencegat kaum buruh yang mau masuk kerja, guna bersalaman dengan mereka dan menjelaskan mengapa ia mencalonkan diri. Kepada anggota-anggota Partai harus diterangkan apa yang salah pada Amerika dan partai mereka.
Kerja keras dua tahun di bawah itu ternyata tidak sia-sia. Dukungan anggota Partai dalam pemilihan-pemilihan pendahuluan memberikan hak baginya untuk menjadi calon Partai Demokrat dalam pemilihan presiden tahun 1976, mengalahkan saingannya yang berat-berat seperti para Senator Hubert Humphrey dan Henry Jackson, anggota Kongres Steward Udall dan Gubernur California Jerry Brown, anak “Pat” yang menjadi saingan Kennedy dalam tahun 1960.
Karena, sedikitnya, ia berutang pada cukong-cukong politik, seperti pemimpin Serikat Buruh George Meany, Wali Kota Chicago mendiang Richard Daley. Dan tokoh-tokoh usahawan, Carter juga merasa mempunyai kebebasan penuh untuk menetapkan kebijaksanaan pemerintahannya sendiri. Demikianlah, ia membuat kejutan di awal pemerintahannya dengan mengumandangkan sebuah patokan moral untuk mengatur hubungan luar negeri AS. Patokan moral itu adalah hak-hak asasi manusia.
Patokan moral itu menggegerkan semua orang. Di luar negeri, hampir semua pemimpin tidak mengerti kegunaan praktis dari adanya patokan tersebut. Sebagian pemimpin pemerintahan merasa tidak senang dan beberapa yang merasa terkena atau terancam mengeluarkan reaksi keras. Presiden Filipina Marcos mengecamnya sebagai sikap yang tidak layak dalam hubungan internasional, sedangkan pemimpin Partai Komunis Uni Soviet (waktu itu, kini Presiden) Leonid Brezhnev menolaknya sebagai campur tangan dalam negeri orang lain. Dukungan Carter secara terbuka kepada para pejuang hak asasi manusia Rusia, seperti suratnya kepada Andrey Sakharov, membuat Brezhnev naik pitam dan suasana menjadi tegang antara kedua negara raksasa itu. Pendekatan Timur- Barat (détente) dan perundingan pembatasan persenjataan strategis (SALT) menjadi terancam macet. Sekutu-sekutu AS sendiri merasa terancam oleh kemacetan itu, sehingga secara halus mereka mempertanyakan kegunaan patokan moral seperti hak asasi itu.
Di Amerika Serikat sendiri, patokan moral itu pada mulanya juga memperoleh tentangan hebat. Di samping mempertanyakan kegunaan praktisnya, banyak yang menyangsikan apakah AS patut menetapkan ukuran moral setelah kegagalan petualangannya sendiri yang mengambil korban besar dan mengakibatkan penderitaan hebat di Vietnam. Lebih-lebih setelah kemacetan SALT dan ancaman bagi détente, kritikan-kritikan atas patokan moral Carter itu semakin menghebat.
Tetapi, Carter tetap bertahan pada pendiriannya. Tentangan hebat itu diatasinya dengan mengadakan perubahan taktis berupa keluwesan aplikasinya. Lambat-laun ia berhasil menciptakan penerimaan luas di kalangan rakyat Amerika atas patokan moralnya itu, seperti yang tercermin dalam pendapat umum di media massa yang berangsur-angsur mendukungnya. Bahkan, kini Kongres sendiri menetapkan ukuran-ukuran hak asasi yang lebih ketat daripada yang ditetapkan Carter.
Begitu dalamnya patokan moral itu kini telah tertanam dalam kehidupan politik AS hanya dalam masa setahun ini, hingga Carter sendiri berani menggunakannya secara keras dan lugas dalam pidato bersejarahnya di Akademi Angkatan Laut di Annapolis baru-baru ini. Ia tidak mengenyampingkan kemungkinan konfrontasi AS-Rusia karena petualangan Moskow di Afrika dan pelanggarannya atas hak asasi.
Jelaslah dari yang telah diuraikan di atas bahwa patokan moral hak asasi manusia telah menjadi bagian menetap dari politik luar negeri AS. Ia tidak dapat dianggap sebagai perubahan sementara belaka, karena, bagaimanapun, ia telah menjadi pendapat umum di sana. Para calon terkuat untuk menggantikan Carter dalam tahun 1984 (kalau ia memenangkan lagi masa jabatan kedua dalam tahun 1980 nanti) seperti, Wakil Presiden Walter “Fritz” Mondale dan Gubernur Ferry Brown dari Partai Demokrat, serta Elliot Richardson dan Donald Rumsveld dari Partai Republik, dapat dipastikan menganut pendirian Carter ini.
Sangat besar implikasi dari perubahan politik luar negeri AS itu bagi kita. Persoalan hak asasi menjadi tidak dapat lagi kita abaikan, jika kita menginginkan sukses bagi pembangunan yang kita tempuh dengan strategi sekarang ini. Strategi pembangunan yang membutuhkan arus modal luar negeri yang besar dan penggunaan teknologi tinggi dalam skala yang luas bagaimanapun juga memerlukan kesediaan pihak AS untuk menyediakannya.
Modal berupa bantuan antar pemerintah jelas ditentukan oleh patokan moral hak asasi, sedangkan bantuan terbesar yang kita terima hingga saat ini masih datang dari AS. Permodalan swasta internasional juga masih dikuasai oleh korporasi-korporasi AS. Mereka sendiri sangat dipengaruhi oleh politik pemerintah AS, karena hanya jaminan dan kredit asuransi yang diberikan pemerintah sajalah yang mampu menutup resiko bagi pengiriman modal mereka ke negara-negara berkembang.
Sudah tentu arus modal mereka hanya akan mengalir dengan derasnya ke negara-negara yang disetujui oleh pemerintah AS. Karenanya, strategi pembangunan kita yang dikaitkan dengan pemasukan bantuan dan modal asing serta teknologi modern secara besar-besaran ke mari menuntut dari kita penjagaan dan pengembangan hak asasi secara taat asas (konsisten).
Pelaksanaannya tidak dapat hanya dibuat-buat sebagai pulasan belaka, karena pasaran modal yang terbatas itu diperebutkan oleh banyak negara-negara berkembang. Pulasan lahiriah dalam pelaksanaan hak asasi di negeri kita dalam waktu sebentar saja akan pudar cahayanya di hadapan pelaksanaan konsekuen oleh negara-negara seperti India.
Karenanya, dari sekarang kita harus mulai belajar melaksanakan hak itu di negeri ini dengan jalan antara lain: memberikan wewenang nyata kepada Mahkamah Agung untuk menguji semua peraturan dan undang-undang dengan patokan pasal-pasal UUD 1945, menghindari semua bentuk pemasungan kreativitas dan pengucilan, menghilangkan kebiasaan mencari kambing hitam bagi semua persoalan, menghentikan semua bentuk kesewenang-wenangan jabatan. Pendek kata, semua manifestasi dari etika sosial yang menurut hati nurani kita tidak baik dan tidak benar. Mampukah kita?