Islam: Agama Populer ataukah Elitis?
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Pada tahun 50an dan 60an, di Mesir terjadi perdebatan sengit tentang bahasa dan sastra Arab, antara para eksponen modernisasi dan eksponen tradisionalisasi. Dr. Thaha Husein [1], salah seorang tuna netra yang pernah menjabat menteri pendidikan dan pengajaran serta pelopor modernisasi, menganggap bahasa dan sastra Arab harus mengalami modernisasi, jika diinginkan ia dapat menjadi wahana bagi perubahan-perubahan sosial di jaman modern ini. Ia menganggap bahasa dan sastra Arab yang digunakan secara klise oleh sajak-sajak puja (al-madh) seperti bahasa yang digunakan dalam dzibâ’iyyah dan al-barzanji [2] sebagai dekadensi bahasa yang justru akan memperkuat tradisionalisme dan menentang pembaharuan. Dari pendapat ini dan dari tangan Dr. Thaha Husein, lahirlah para pembaharu sastra dan bahasa Arab yang kita kenal sekarang ini.
Nama-nama terkenal seperti Syauqi Dhaif [3] dan Suhair al-Qalamawi [4] muncul sebagai bintang-bintang gemerlap dalam perbincangan mengenai pembaharuan bahasa dan sastra Arab. Sejak masa itu, muncullah madzhab baru bahasa Arab, yang dirasakan oleh mereka sebagai pendorong dinamika dan perubahan sosial. Bahasa dan sastra Arab dari masa lampau, yang lebih berbau agama dikesampingkan oleh kebangkitan kembali bahasa dan sastra Arab masa pra-Islam (‘asr al-jâhiliyah).
Dalam pandangan ini, produk-produk dekaden harus dikesampingkan, guna memberi jalan kepada proses modernisasi bahasa dan sastra Arab. Ini merupakan reaksi terhadap paham serba agama yang merajai Timur Tengah sebelum itu. Sejalan dengan tumbuhnya nasionalisme Arab (al-qawmiyyah al-arabiyyah), yang kala itu menjadi pikiran dominan di kalangan para pemikir Arab. Dengan demikian, tradisionalisme yang dibawakan agama, dianggap sebagai penghalang bagi munculnya kecenderungan baru tersebut. Karena sifatnya yang intelektual, pandangan ini tidak langsung diikuti oleh rakyat kebanyakan, halnya menjadi pemikiran elitis dari kaum cendekiawan di negeri-negeri Arab selama dua puluh lima tahun.
Di negeri kita, kemunculan kelompok nasionalis itu juga berkembang. Persamaannya dengan pandangan anti-tradisionalisme bahasa dan sastra Arab di kalangan bangsa-bangsa Mesir, yaitu pandangan elitisme kaum cendekiawan ini tidak menyentuh pikiran-pikiran rakyat awam di negeri ini. Perbedaannya, agama dengan tradisionalismenya tidak dipersalahkan menghambat kemajuan. Mungkin ini disebabkan oleh kekuatan politik organisasi tradisional agama, seperti NU (Nahdlatul Ulama). Tradisionalisme agama yang dibawa NU justru menyatu dengan kaum nasionalis, karena kedua-duanya harus berhadapan dengan modernisme non-ideologis yang datang dari Barat, dalam berbagai bentuk. Yang terpenting di antaranya adalah pragmatisme yang dibawa oleh para teknokrat, yang dipermukaan berarti penyerahan diri secara total kepada sistem nilai yang dimiliki orang-orang Barat.
Modernisasi dianggap sebagai pengikisan tradisionalisme agama dan rasa kebangsaan kaum nasionalis. Tidak heran, jika yang muncul dipermukaan adalah manifestasi tradisionalisme agama, digabungkan dengan semangat nasionalisme yang mengagungkan kejayaan masa lampau. Kedua paham itu menampilkan tradisionalismenya sendiri: anti-Barat, anti-penuhnya rasionalisme dan penghormatan berlebihan kepada masa lampau. Kalau hal ini diingat benar, dengan sendirinya kita lalu dapat melihat kedangkalan dua paham tersebut.
Manifestasi budaya dari munculnya kembali tradisionalisme agama itu, seperti terlihat dalam blantika musik kita dewasa ini. Musik Arab tradisional dengan enam belas birama (bahr, pluralnya buhur) seperti yang ada dalam sajak-sajak Arab tradisional, muncul sebagai “wakil agama” dalam blantika musik kita dewasa ini. Hal ini karena, pembaharuan bahasa dan sastra nasional, yang dirintis Sutan Takdir Alisyahbana tidak sampai menyentuh akar tradisionalisme agama itu. Sebagai akibatnya kita melihat sebuah penampilan yang lucu: bahasa dan sastra nasional yang diperbaharui dan berwatak kontemporer dan —pada saat yang sama, menampilkan tradisionalisme agama.
Dengan memperhatikan kenyataan di atas, kita sampai kepada sebuah pertanyaan yang fundamental: haruskah kehidupan beragama kita semata-mata berwatak tradisional dan adakah penggunaan rasio dalam menyegarkan kembali tradisionalisme agama itu dianggap sebagai “bahaya”? Pertanyaan ini patut dipikirkan jawabannya secara mendalam, karena selama ini percampuran antara semangat kebangsaan kaum nasionalis dan tradisionalisme agama hanya membawa hasil positif di bidang politik belaka, bukannya di bidang budaya dan bahasa. Tradisionalisme agama tidak menyukai ideologisasi agama dalam kehidupan bernegara, seperti terbukti dari penolakan NU atas Piagam Jakarta.
Kehidupan beragama kita, yang menjadi salah satu penyumbang kebudayaan dalam kebudayaan nasional kita, bagaimanapun juga haruslah berwatak rasional. Apa yang dikemukakan A.A. Navis dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” adalah rasionalitas kehidupan beragama yang kita perlukan, bukannya sesuatu yang harus ditakuti. Ini bukan berarti memandang rendah tradisionalisme agama, karena elemen-elemen positif dari tradisionalisme itu sendiri harus kita teruskan. Tetapi unsur-unsur irasional yang akan menghambat fungsionalisasi tradisionalisme itu sendiri haruslah diganti dengan nilai-nilai rasional yang akan menjamin kelangsungan tradisionalisme agama itu. Seperti halnya dengan kontra-reformasi yang dijalani oleh gereja Katolik Roma, yang dijalankan untuk menjamin kelangsungan hidup tradisionalisme agamanya. Penggunaan gamelan di satu sisi — misalnya, dan musik hard rock serta rap di sisi lain, sama-sama rasionalnya dalam penyampaian pesan-pesan gerejawi melalui misa dan sebagainya.
Jadi revitalisasi tradisionalisme memang agama sangat diperlukan, dalam bentuk memasukkan unsur-unsur rasional ke dalamnya, hingga modernisme agama itu sendiri dapat dirasakan sebagai kebutuhan, baik di kalangan elitis yang diwakili para cendekiawan, maupun rakyat jelata yang mengembangkan tradisionalisme agama populis. Di sinilah terletak tantangan yang dihadapi Islam di negeri kita, dengan penduduk muslimnya yang berjumlah lebih dari 170 juta jiwa.
Masalahnya sekarang, bagaimana mengembangkan modernisme agama dan tradisionalisme agama yang serba rasional, dan menghindarkan agar keduanya tidak bertubrukan secara praktis. Dapatkah kaum muslimin di negeri ini mencapai hal itu?
Catatan Kaki:
[1] Dr. Thaha Husein (1889-1973) adalah seorang penulis terkenal dari Mesir. Thaha Husain, meskipun kehilangan penglihatan sejak kecil, namun dengan kecerdasan yang tinggi, ia berhasil menyelesaikan pendidikannya di Universitas Mesir, sebelum kemudian meraih gelar Doktor di Universitas Sorbonne, Prancis. Thaha Husein seorang ahli bahasa dan pernah menjabat berbagai posisi penting di pemerintahan Mesir. Bukunya yang terkenal berjudul Sejarah Sastra Arab dan Al-Ayyam.
[2] Al-Barzanji adalah karya sastra yang berisi puji-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW yang sudah barang tentu memuat kisah-kisah kehidupan beliau. Sebenarnya ini bermula dari sebuah karya berjudul Iqdul Jawahir yang disusun oleh Syeikh Ja’far al-Barzanji bin Husein bin Abdul Karim yang lahir di Madinah 1690 dan meninggal di Madinah juga tahun 1766. Nama Al-Barzanji diambilkan dari asal-usul beliau dari daerah Barzanj di Kurdistan.
[3] Dr. Syauqi Dhaif adalah juga penulis Mesir sezaman dan juga menjadi salah satu pembela pembaharuan Dr. Thaha Husein dalam sastra dan bahasa Arab. Tulisannya tertuang dalam karya 3 jilid Tarikh al-Adab al-Araby.
[4] Suhair al-Qalamawi (1911-1997), juga penyair terkenal di Mesir yang menjadi pembela Thaha Husein dari serangan-serangan mereka yang tidak setuju dengan pembaharuannya.