Islam di Asia Tenggara
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Seorang wartawan Filipina beragama Katolik bertanya kepada saya tentang sesuatu yang mengejutkan. Pertanyaannya mengejutkan karena tidak biasa ditanyakan oleh wartawan seperti dia. “Menurut Anda, mungkinkah Islam Indonesia menjadi titik perhatian dunia Islam di kawasan ini di kemudian hari?” Mungkin yang dimaksudkan “Islam Indonesia” adalah Islam yang tidak menjadi bagian dari kehidupan negara, karena Islam di Indonesia bukanlah agama negara seperti di tempat lain. Sementara itu perjuangan Islam di tempat lain, tampaknya, justru untuk menegakkan syari’ah Islam sebagai sumber kehidupan hukum di dalamnya.
Kalau kedua itu yang dimaksud jelas bahwa perkembangan Islam di sini memang harus diperhatikan. Perkembangan yang terjadi di negeri ini bagaimanapun juga akan membawakan corak baru yang spesifik Indonesia. Di Pakistan, orang yang tidak menginginkan hukum Islam menang, berasal dari luar gerakan Islam, seperti Benazir Bhutto yang berasal dari gerakan nasionalis demikian pula dengan Ny. Begum Mujibur Rahman dan Begum Khaleda Zia tak berasal dari partai Islam. Apa yang terjadi di Malaysia juga menunjukkan fenomena yang sama. Mahathir dan penggantinya di Malaysia tidak berasal dari PAS (Partai Islam Se-Malaysia) melainkan dari United Malays National Organization (UMNO). Di Mesir, tidak pernah bisa kita bayangkan presiden republik dari golongan Islam.
Tetapi di Indonesia, keinginan untuk meninggalkan ideologi Islam justru datang dari gerakan Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU). Ini membuat perkembangan Islam di Asia Tenggara memerlukan perhatian tersendiri. Kita lihat di Thailand, orang-orang dari gerakan Islam, seperti Menlu Surin, ikut serta dalam pemerintahan yang sama sekali tak memiliki pretensi agama. Hal yang sama menurut pendapat saya juga akan terjadi di Myanmar, sebagaimana telah terjadi di Indonesia.
Mungkin saja pola seperti itu terjadi juga di kawasan lain seperti di India dan Sri Lanka. Yang terjadi di Asia Tenggara itu merupakan perkembangan yang patut dicermati.
Perkembangan ini tampak nyata di Filipina Selatan. Di masa lampau pemberontakan Moro National Liberation Front (MNLF) berangkat dari asumsi Timur Tengah, yaitu keinginan Saudi Arabia dan Libia. Keduanya menginginkan MNLF menjadi gerakan Islam yang kuat dan mampu menciptakan negara syari’ah dalam kehidupan negeri jiran tersebut. Dua puluh tahun telah ditempuh, berbagai penderitaan yang telah dijalani dan pertempuran telah dimasuki. Banyak korban diberikan dan antara agama Katolik dan Islam di Filipina Selatan tampak begitu berbeda.
Pada akhir pertentangan yang berkepanjangan itu datanglah kesadaran dari kedua belah pihak. Presiden Ramos –yang memerintah waktu itu– menyadari bahwa haruslah diberikan konsepsi cukup pada kaum muslimin untuk tetap hidup sebagai gerakan. Ketua MNLF, Nur Missouari menyadari pada akhirnya perjuangan organisasinya haruslah tidak bersifat ideologis, jika ingin berhasil. Dengan demikian berubahlah seluruh watak perjuangan orang Moro itu.
Mereka yang menginginkan perjuangan dengan pola lama, yaitu garis ideologis gerakan Islam, harus mencari pemimpin baru menggantikan Missouri. Mereka mendapatkan ini pada diri Hasyim yang Salamat. Orang ini tetap memperjuangkan berlakunya syari’ah secara formal dalam kehidupan bernegara di negeri jiran itu. Tetapi kita tahu perjuangan itu akan gagal, karena kaum muslimin berpandangan demikian hanya minoritas di antara seluruh kaum muslim Filipina. Dan jumlah total kaum muslimin secara keseluruhan hanya 5% dari penduduk seluruh negeri. Meskipun demikian hal ini membuat cukup repot Missouari dan kawan-kawan.
Di sinilah letak keunikan dari apa yang terjadi di Asia Tenggara itu. Para pemimpin Islam dari berbagai gerakan tersebut telah dipaksa oleh keadaan untuk garis perjuangan mereka. Mereka tidak lagi bercita-cita menjadikan hukum Islam sebagai landasan perjuangan menegakkan hukum. Dengan kata lain, mereka menerima supremasi hukum kontemporer yang dibuat manusia. Ini terjadi di banyak negara di Asia Tenggara. Di Indonesia, karena kesadaran, bahwa kehidupan mereka tidak memungkinkan syari’ah menjadi hukum negara. Di negeri-negeri lain yang mayoritas penduduknya nonmuslim juga membuat hal itu tidak mungkin tercapai. Artinya penegakkan hukum nonsyari’ah memang menjadi kebutuhan di kawasan ini.
Dengan demikian perkembangan budaya di kawasan tersebut telah mendorong pertumbuhan Islam Di Asia Tenggara mengalami perubahan yang membedakannya dengan kawasan-kawasan lain.
Ambil saja contoh kehidupan wanitannya, yang demikan jauh berbeda dengan kawasan-kawasan lain di masa lampau. Wanita Asia Tenggara terkenal memiliki kebebasan lebih banyak daripada di masyarakat lain di Asia Selatan, Asia Barat, serta Asia Timur. Perangkat hukum, penetapan kepala keluarga, kepemilikan harta benda di samping suami dan seribu satu hal lain membedakan wanita di kawasan ini dari wanita-wanita di berbagai kawasan lain. Bagaimana mungkin keketatan syari’ah ditegakkan dalam masyarakat yang demikian? Inilah yang membuat mengapa lalu timbul keinginan untuk mencari penafsiran baru atas ajaran-ajaran agama, bukannya meninggalkan ajaran tersebut.
Hal ini tampak antara lain, dalam berbagai produk pandangan keagamaan yang dicapai oleh istri yang diperolah dengan menggunakan perahu, dibagi antara yang meninggal dan yang masih hidup ketika salah satunya berpulang ke rahmatullah.
Mengapa? Karena harta itu dicari bersama-sama antara lelaki dan istri. Separo harta yang menjadi milik si mati barulah dibagi para ahli warisnya. Dengan demikian Syech Arsyad telah melestarikan penafsiran kembali ajaran agama tentang pembagian waris menurut syari’ah atau seluruh harta waris. Lagi-lagi ini menunjukkan penafsiran atas suatu ajaran agama.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa di kawasan Asia Tenggara, Islam mengalami penafsiran ulang atas segala ajaran-ajarannya. Juga jelas bahwa mau tidak mau harus ada penafsiran ulang tentang tempat syari’ah dalam perkembangan hukum negara di kawasan ini. Dan ini memberikan tempat tersendiri bagi perjuangan keagamaan yang berbeda di kawasan ini dari kawasan-kawasan lain. Sekali kenyataan ini senantiasa diingat, kita akan dapat memahami apa yang berkembang dalam sejarah agama Islam di kawasan ini. Di kawasan anak benua India, misalnya Islam menjadi terlalu formal dan penafsiran kembali terjadi di luar gerakan Islam. Ini dapat dilihat dalam kiprah Benazir Bhutto, Begum Rahman, dan Khaleda Zia di Bangladesh atau di Sri Lanka. Hanya di kawasan Asia Tenggara penafsiran ulang itu terjadi di dalam gerakan Islam.
Inilah yang seharusnya kita perhatikan, karena memiliki kekhususannya sendiri. Adapun di Timur Tengah apa yang pada mulanya tampak sebagai pelaksanaan hukum Islam, pada dasarnya adalah penerusan tradisi Arab dan Persia sebelum Islam lahir, sehingga tak ada penafsiran ulang di dalamnya. Bukankah hal unik ini yang membedakan Asia Tenggara dengan kawasan-kawasan lain.