Kasus Theo Syafe’i
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Beberapa waktu lalu beredar transkrip pidato Mayjend. (Purn.) Theo Syafe’i yang isinya membuat beberapa kalangan umat Islam berang. Dalam transkrip yang beredar itu dinyatakan bahwa Theo Syafe’i telah mendiskreditkan sebagian umat Islam. Dalam transkrip rekaman itu, digambarkan Theo Syafe’i menghina Islam.
Dengan menggambarkan pidato itu diucapkan di Kupang, jelas dengan maksud untuk menunjukkan bahwa apa yang terjadi di kawasan tersebut belakangan ini –berupa pembakaran masjid dan harta milik kaum muslimin yang lain– adalah akibat dari “kejadian” itu. Dengan kata lain dicoba membuktikan adanya hubungan erat antara pidato tersebut dan apa yang terjadi di Kupang kemudian. Artinya, pembakaran masjid dan lain-lainnya itu “akibat” dari pidato tersebut.
Keruan saja, hal ini membuat sewot Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Megawati Soekarnoputri meminta beberapa pengacara untuk mengajukan gugatan balik ke Polda Metro Jaya atas tuduhan KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam), bahwa Theo Syafe’i “merugikan” Islam. Dengan gugatan balik tersebut, dianggap bahwa secara hukum dapat dibuktikan ketidakbenaran tuduhan di atas, atau dengan kata lain Theo Syafe’i tidak dapat dipersalahkan dalam hal ini.
Dari sudut lain, saya ingin menyatakan bahwa fitnah telah terjadi dalam penafsiran apa yang diungkapkan Theo Syafe’i itu. Kalau kita baca dengan teliti, transkrip dari tokoh tersebut menunjukkan bahwa ia membela gerakan Islam di negeri ini. Bahwa belum ada negeri muslim manapun di masa lampau maupun mayoritas ormas Islam di negeri ini –saat ini, yang meminta bahwa negeri kita harus didirkan atas dasar Islam. Kalaupun ada yang menginginkan bahwa negeri ini didasarkan pada ajaran-ajaran Islam dan bukannya hanya diwarnai saja olehnya, maka hal itu adalah gerakan minoritas semacam DI/TII di bawah pimpinan S. Kartosuwiryo. Dengan kata lain, keinginan seperti itu adalah keinginan minoritas saja dari gerakan Islam yang besar.
Kenyataan sejarah di atas, sangatlah penting sebab ia menentukan pandangan kita terhadap bangsa ini. Artinya, sejak dulu memang kurang berkembang pemikiran untuk menempatkan lembaga keagamaan sebagai pengatur negara. Tidak terkecuali agama Islam, yang kemudian menjadi mayoritas bangsa. Dalam sidang Konstituante 1959, gagasan menolak Pancasila sebagai dasar negara dikalahkan. Dengan demikian, kalahlah gagasan mendirikan negara atas dasar agama (theisme) tersebut.
Sayangnya, upaya melestarikan Pancasila sebagai dasar negara, beberapa waktu kemudian dilakukan secara paksa. Pertama-tama, ketika dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Yang kedua, ketika dicanangkan asas tunggal Pancasila di tahun 1983. Dengan demikian, Pancasila yang kita perjuangkan itu ternyata dianggap tetap dapat hidup hanya dengan paksaan. Padahal kenyataannya mayoritas kaum muslimin telah bisa berdamai dengan hal itu..
Dengan demikian, mitos bahwa Islam dapat berfungsi dalam kehidupan negara secara politis dan ideologis telah patah. Ini, adalah pendapat minoritas muslim yang disebutkan di atas.
Sedangkan pendapat mayoritas, yang menganggap Islam secara kultural menjadi jalan hidup warga negara tanpa diformalkan dalam aturan bernegara, adalah pendapat mayoritas dari berbagai gerakan Islam yang kini hidup di Tanah Air kita.
Dalam menghadapati kenyataan seperti ini, mereka yang menganut ideologi kanan itu lalu membuat sesuatu yang dapat menolong posisi mereka: fitnah. Pertama-tama, fitnah terhadap sesama kawan, yaitu menghancurkan reputasi orang-orang yang menjadi pemimpin kaum muslimin dan beranggapan lain. Karena itu, maka dilakukanlah fitnah terhadap Cak Nur (Dr. Nurcholish Madjid). Tokoh itu tidak sependapat dengan mereka, karena itu harus dihancurkan kepemimpinannya di lingkungan “Kaum Islam Gedongan”. Digambarkan seolah-olah Cak Nur tidak pantas menjadi pemimpin Islam sejati, karena ia adalah didikan Chicago di Amerika. Padahal bukankah Dr. Amien Rais yang sesuai dengan pandangan mereka, juga berasal dari universitas yang sama. Seolah-olah ada hubungan antara tempat mendidik orang dan keyakinan agamanya. Padahal kedua contoh di atas menunjukkan hal yang sebaliknya.
Demikian pula, bagi orang seperti saya disediakan fitnahan dalam corak lain. Sebagai ketua sebuah organisasi tradisional NU, saya digambarkan terpengaruh oleh berbagai pemikiran modern yang datang “dari luar”. Seolah-olah saya terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran dari luar NU. Dilupakan, bahwa tradisionalisme NU adalah pandangan hidup yang mampu menempatkan ke-kuno-an (tradisi) dalam “ke-kini-an” (situasi kontemporer).
Bagi orang yang tidak beragama Islam, dibuatkan “daerah kematian” berupa sikap melawan terhadap Islam. Dalam kawasan inilah, Theo Syafe’i digiring. Bukankah dengan demikian, ia hanya akan menjadi sumber kesulitan belaka bagi organisasi/lembaga yang diikutinya, yaitu PDI Perjuangan.
Dengan demikian menjadi nyatalah apa yang mereka lakukan justru berakibat sama bagi orang yang dihadapi: kalau tidak bisa mengatasi tentu akan “dihabisi” oleh keadaan. Bukankah ini menggambarkan tujuan dari semua fitnahan: menghancurkan reputasi lawan dan dengan demikian “memenangkan” pendapat sendiri?