Pertemuan
Oleh: K.H. Abdurrahman wahid
Dalam waktu sebelas hari, saya menemui empat orang penting di Republik tercinta ini. Pada hari Rabu saya bertemu dengan Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto. Pada hari Sabtu, sarapan pagi di rumah Presiden Habibie, disusul seminggu kemudian pertemuan dengan mantan Presiden Soeharto dan mantan Menhankam/Pangab L.B. Moerdani. Timbul reaksi yang berbeda-beda atas keempat pertemuan tersebut.
Pertemuan dengan Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto ternyata tidak banyak dikomentari orang. Tapi, sarapan pagi di kediaman Presiden Habibie lebih banyak mendapat sorotan pers. Juga, pertemuan dengan mantan Menhankam/Pangab Moerdani mendapat sorotan tajam. Apalagi, pertemuan dengan mantan Presiden Soeharto paling banyak mendapat sorotan.
Mengapa demikian berbeda antara satu dengan yang lain, sedangkan maksud saya justru tidak tertangkap oleh pemberi sorotan? Dalam pertemuan dengan Menhankam/Pangab Wiranto, saya mengajukan petanyaan siapakah yang akan bertanggung jawab atas berdirinya rakyat terlatih (Ratih)? Kalau yang bertanggung jawab pak Wiranto, kiranya saya dapat tenang, tidur nyenyak pada malam hari. Kalau orang lain, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Atas pertanyaan itu, Menhankam/Pangab menyatakan bahwa dialah yang bertanggung jawab. Saya cukup puas dengan keterangan itu, karena yakin undang-undang mengenai Ratih akan lebih menjamin profesionalisme satuan, demikian juga sebaliknya.
Optimisme tersebut, saya peroleh dari pertemuan dengan Presiden Habibie. Saya mengajukan empat usulan tentang pemilu 1999. Pemilu itu harus meliputi pemilihan di tiga tingkat pusat, propinsi, dan daerah TK IL. Berikutnya, pemilu harus diselenggarakan bukan oleh pemerintah melainkan oleh sebuah panitia independen yang terdiri atas wakil pemerintah, wakil-wakil parpol dan wakil ormas (terdiri atas orang NU, orang Muhammadiyah dan yang lainnya dapat ditentukan kemudian).
Pertemuan dengan Pak Benny tidak membahas masalah-masalah kenegaraan, melainkan berupa tatap muka yang menyinggung soal-soal lain, karena hal itu memang dirancang sebagai pertemuan nostalgia. Mungkin karena Pak Benny Moerdani tidak lagi memegang jabatan, saya tidak mengajukan usulan kepada beliau. Dalam hal ini, saya hanya membawakan keinginan bersilaturrahmi, karena sudah lama tidak berjumpa dengan beliau.
Pertemuan dengan mantan Presiden Soeharto menyangkut kebijakan pembangunan yang sudah lama dijalani beliau. Saya hanya mengajukan usulan agar beliau menerima pertemuan dengan Pak Habibie dan Pak Wiranto. Satu-satunya usulan saya dengan mudah diterima beliau, dalam waktu tidak lama lagi. Alasan pertemuan itu adalah menghindarkan adanya kemungkinan meluasnya pertentangan bersenjata yang ditimbulkan oleh sikap yang tidak jernih dan cara pandang yang salah terhadap persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa.
Terbersit sebuah pertanyaan: mengapakah reaksi terhadap bekas Presiden Soeharto dan mantan Menhankam/Pangab Moerdani demikian tidak proporsional? Bukankah efek dari apa yang disampaikan Presiden Habibie dan Menhankam/Pangab Wiranto jauh lebih besar? Mengapa reaksi terhadap keempat orang ini juga berbeda? Kita seperti anjing Pavlov yang akan susah atau senang kalau tulisan serba bagai dipakai untuk mencari jawaban-jawaban universal. Orang lebih mengikuti emosi daripada mencari pemecahan masalah secara rasional.
Dengan demikian jelaslah, bahwa reaksi pertemuan saya dengan mantan Presiden Soeharto di satu pihak dan dengan mantan Menhankam/Pangab Moerdani di pihak lain menjadi besar, karena adanya faktor di luar kehendak saya yaitu kebencian mahasiswa kepada mantan Presiden Soeharto dan kebencian gerakan Islam kanan kepada Pak Benny Moerdani. Jadi urusannya tidak lagi terkait dengan urusan nalar, melainkan dengan emosi. Mungkinkah saling pengertian akan tercapai di antara kita sebagai bangsa jika kita lupa pada kenyataan bahwa hakikatnya kita adalah satu bangsa, betapa berbedanya sekalipun kita dari komponen yang berlainan?
Secara ringkas saya ingin mengemukakan, rupanya kita belum dewasa untuk menyantuni semua komponen bangsa. Implikasi dari kenyataan ini mudah untuk dibaca; tidak ada kaum minoritas yang dengan tenteram hidup sesuai dengan perundang-undangan. Bukan-kah Pembukaan UUD 1945 justru melindungi mereka, sedangkan sebagian gerakan Islam justru melupakan hal itu. Bukankah dengan demikian, kita harus kembali ke titik nol, memperjuangkan lagi hak-hak kaum minoritas.