Strategi Perjuangan Umat Islam
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Pada saat ini, disadari, strategi perjuangan umat Islam di Indonesia tampak kabur. Ditekankannya kata “umat” Islam, karena kata “umat” cakupannya lebih luas daripada kata “gerakan”. Di antara pembuktiannya, seperti kita ketahui, dalam gerakan Islam tampak lebih menetapkan pilihannya terhadap dukungan pada Sidang Istimewa (SI) MPR. Padahal, kita semua tahu, jika mengikuti pengertian kata “umat” di atas berarti juga sudah mencakup mereka yang menentang forum tersebut seperti kelompok Barisan Nasional (Barnas). Bukankah semua yang mengaku beragama Islam, semuanya termasuk umat Islam? Tetapi, tidak semua mereka yang beragama Islam adalah serta merta anggota gerakan Islam.
Tanpa mengetahui perbedaan kedua istilah itu, kita bisa dibuat bingung. Namun, dengan kemampuan membedakan di antara keduanya kita bisa memilah-milah; mengapa terjadi sikap yang berlainan. Sebenarnya, dengan kemampuan tersebut kita secara kultural dapat membedakan mengapa ada yang menjadi pengikut gerakan Islam dan mengapa ada yang tidak. Bahkan lebih jauh, kita bisa membedakan mengapa ada gerakan Islam, nasionalis, sosialis, dan bahkan gerakan komunis. Di negara bagian Bihar Barat India, calon utama pemimpin partai Komunis India adalah Maulana Ishaq –yang kalau di sini (bisa jadi) dipanggil Kiai Ishaq. Bahkan kita pernah memiliki seorang calon anggota DPR dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bernama Kiai Dasuki asal Solo.
Sedangkan pada kata “gerakan” Islam dapat dikumpulkan sejumlah organisasi yang resmi membubuhkan nama Islam atau muslimin. Apakah arti pembubuhan nama tersebut? Karena, organisasi itu bertujuan mempraktekkan hukum Islam (fiqh) dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, tujuan dari organisasi seperti ini bersifat khusus dan berlingkup lebih sempit. Atau, pengikutnya yang lebih diperkecil, seperti kata Nahdlatul Ulama — yang berarti Kebangkitan Ulama. Yang tidak merasa terikat oleh keulamaan, baik sebagai kolega maupun sebagai pengikut, tidak bisa turut serta dalam gerakan tersebut. Sebaliknya, orang yang tidak merasa pentingnya hukum Islam (fiqh) tidak pantas jadi anggota NU.
Karenanya, gerakan Islam seperti Partai Bulan Bintang, Muhammadiyah, Syarikat Islam Indonesia, dan sebagainya, biasanya mencantumkan pelaksanaan hukum Islam (fiqh atau syari’ah) sebagai salah satu bidang garapannya. Bahkan, yang tidak mencantumkannya secara resmi dalam anggaran dasarnya, seperti yang dialami Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) saat ini, diragukan perjuangan keislamannya. Satu-satunya hal yang menolong PKB adalah ikatannya sebagai wadah penyaluran aspirasi politik bagi warga NU. Atau, mungkin karena itulah perjuangan mewujudkan hukum Islam tidak dicantumkan dalam anggaran dasarnya. Bukankah dengan tidak mencantumkan hal itu, melainkan mencantumkan perjuangan menegakkan hak asasi manusia, keadilan serta demokrasi, semakin banyak warga masyarakat yang dapat diraih?
Strategi ganda yang, di satu pihak, menyerahkan pelaksanaan hukum Islam pada NU dan penegakan hukum serta demokrasi kepada pihak sendiri, bukankah akan lebih menarik simpati masyarakat luas kepada PKB? Di sinilah, orang baru mengerti mengapa saya sebagai Ketua Umum Pengurus Besar (PBNU) meminta agar Drs. Mathori Abdul Jalil menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai tersebut. Pak Mathori adalah seorang strateec yang mampu memadukan keberadaan NU dan kehadiran partai tersebut. Maka, kita tidak usah heran jika nanti PKB akan meraih suara besar di masa yang akan datang. Karena, NU mampu merangkum kedua tipe perjuangan itu, dalam sebuah format yang berbeda.
Pada saat ini, yang didambakan rakyat Indonesia adalah hadirnya sebuah demokrasi, kebebasan, dan pelaksanaan hukum dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, mereka lebih dari tiga puluh tahun telah diinjak-injak haknya dan kemampuan mengatur kehidupan mereka bersama. Tanpa mempedulikan perbedaan agama, adat istiadat, pandangan hidup, dan sebagainya. Karena, hanya sedikit di antara mereka yang merasakan pentingnya arti agama bagi kehidupan mereka.
Setelah mengetahui perbedaan kedua belah pihak yang melakukan perjuangan yang berbeda itu, tentunya, kita harus memahami pentingnya arti posisi orang-orang yang mempertahankan keikutsertaan agama Islam dalam perjuangan yang lebih besar itu. Orang seperti Dr. Nurcholish Madjid dan Dr. Amien Rais, misalnya, keduanya tentu memiliki pengaruh tersendiri di antara mereka yang merasa harus memperjuangkan kedua hal tersebut sekaligus. Atau katakanlah keduanya memiliki pengaruh di kedua kawasan yang berbeda itu.
Menguasai dua dunia
Mereka yang memperjuangkan penegakkan demokrasi dan sekaligus melaksanakan hukum Islam, agaknya mempunyai kedudukan yang menarik. Mereka, sepertinya menguasai dua dunia sekaligus yakni — di satu sisi memperjuangkan tegaknya demokrasi di bumi ini dan pada saat yang sama, mewujudkan gerakan Islam, terutama tentang pelaksanaan syari’ah. Karenanya, tidaklah mengherankan jika perjuangan NU, Muhammadiyah ataupun Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) tak begitu banyak menarik orang. Karena hal itu dianggap hanya sebagai perjuangan kepentingan kelompok/golongan yang sempit. Sebaliknya, perjuangan menegakkan demokrasi, penegakan hukum dan kebebasan, semata-mata juga tidak menarik perhatian pula, karena hanya mewakili kepentingan mereka yang berjuang di bidang itu saja, misalnya LBH, Komnas, HAM, dan sebagainya.
Apa yang dialami golongan Islam di negeri kita ini, juga dialami oleh umat yang sama di negeri-negeri lain. Bahkan, di tempat-tempat tersebut, Islam seolah-olah terasa menentang perjuangan penegakan demokrasi, kedaulatan hukum serta persamaan hak. Di Pakistan, misalnya, jamaat islami jelas merupakan alat militer untuk mengusai keadaan. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara semacam Malaysia, Mesir, Sudan, dan Iran. Jadi, perjuangan menegakkan demokrasi dan kebebasan di tempat-tempat tersebut, justru identik dengan upaya menghilangkan demokrasi, persamaan hak, dan kebebasan. Dan, hal itu pulalah yang terjadi di Arab Saudi.
Sebaliknya, perubahan struktur maupun corak masyarakat yang dibawakan oleh proses modernisasi yang sebagian besar adalah proses pembaratan (westernisasi), juga ditentang oleh Islam. Proses itu, memberikan tempat khusus bagi kalangan militer untuk memerintah atas nama status quo dan menentang demokratisasi yang berasaskan sikap anti-status quo juga.
Dengan demikian proses penegakan demokrasi, kedaulatan hukum dan kebebasan di negeri-negeri tersebut berarti penerimaan perjuangan Islam; seperti yang terjadi di Turki, Mesir, dan Aljazair.
Namun begitu, wajah yang diusulkan tetap tidak menampilkan upaya penegakan hukum dan pendirian persamaan, karena hal itu didakwakan datang melalui dunia barat. Jadi, kunci dari pencarian jawaban yang tepat adalah upaya Islam untuk melaksanakan demokratisasi dalam arti persamaan hak dan dan kedudukan, penjagaan kebebasan dan perubahan struktur masyarakat.
Di Bangladesh, perjuangan gerakan Islam telah dihabisi oleh kegiatan golongan nasionalis. Tinggal di negeri kita sajalah, hal itu bisa dilakukan, meskipun tidak oleh seluruh anggota gerakan Islam. Seperti yang telah saya sebutkan tadi, tokoh-tokoh seperti Dr. Nurcholish Madjid dan Dr. Amien Rais sebenarnya masih bekesempatan mengajukan diri memimpin perjuangan demokrasi dan sekaligus memperjuangkan hukum Islam. Karenanya, tidaklah bijaksana apabila mereka justru menarik diri dari salah satu kedua jenis perjuangan itu.