Mengapa Saya Bertemu Pak Harto
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Pada waktu saya melontarkan gagasan untuk pertemuan sangat terbatas antara Soeharto, Habibie, dan Wiranto, sangat banyak ejekan dan pendapat yang menolaknya. Walaupun saya mengetahui bahwa ini adalah pendapat minoritas bangsa, dalam kenyataannya tidak ada pihak yang membelanya. Sebuah kenyataan yang tragis, tapi itu adalah bukti penguasa pihak minoritas atas dunia pers kita.
Dan penguasaan inilah yang menimbulkan kesalahpahaman bahwa pendapat minoritas itu sekuat pendapat mayoritas. Padahal dalam kenyataan, pendapat mayoritas itu tersimpan dalam apa yang disebut mayoritas yang bungkam (the silent majority). Apalagi, jika dikaitkan dengan kenyataan sebelum mantan Presiden Soeharto menyetujui gagasan itu sendiri, ada pihak yang menganggapnya “menguntungkan golongan tertentu”.
Bahkan lebih jauh lagi, Jenderal (Purn.) Ahmad Tirtisudiro menganggapnya sebagai gagasan membawa Presiden Habibie ke kawasan perburuan (killing ground). Juga Prof. M. Dawam Rahardjo menganggap pertemuan berempat antara mantan Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Menhankam/Pangab Wiranto, dan saya sendiri, sebagai tindakan sebuah kapal perusak (destroyer) dan sebagainya. Dan pada ujung dialog, Dr. Nurcholish Madjid menganggapnya “menguntungkan Nahdlatul Ulama (NU)” belaka.
Bagaimana kenyataannya? Yang jelas, para pengikut mantan Presiden Soeharto sangat marah terhadap pendapat hampir seluruh pengamat dan tuntutan para mahasiswa melalui demonstrasi agar tokoh tersebut “diseret ke pengadilan”. Mereka marah dan merasa kecewa, kekecewaan itu dituangkan dalam berbagai tindakan kekerasan di Ketapang, Kupang, Ujungpandang (Makassar), dan satu dua tempat lainnya. Kerena pertimbangan mencegah hal itulah, maka saya melontarkan gagasan agar ada pertemuan empat orang tersebut.
Pendapat ini, saya kategorikan sebagai pertemuan dua tahap, yang mungkin tiap-tiap tahapnya terdiri atas beberapa pertemuan. Artinya, pada tahap pertama pertemuan pendahuluan yang dihadiri oleh keempat orang di atas. Dan selanjutnya tahap kedua yang diikuti oleh sekian banyak orang, mungkin tanpa diikuti mantan Presiden Soeharto. Dengan demikian, terhindarlah kita dalam sebuah kesulitan diplomatis: Pak Harto tidak mau bertemu sebagian di antara mereka, sedangkan golongan ini tidak mau bertemu beliau.
Alternatif terhadap hal ini adalah tidak diajaknya mantan Presiden Soeharto dalam “dialog nasional” tersebut. Ini berarti mengabaikan potensi mereka yang tidak puas dengan ketidak-hadiran Pak Harto itu. Pemecahan diplomatis seperti itu, memang diperlukan dalam keadaan serba rumit seperti yang kita hadapi sekarang ini. Tapi, minimal ia menutup sebuah kemungkinan sangat besar akan terjadinya letupan yang kita kenal dengan istilah perang saudara.
Saya tidak dapat mengemukakan gagasan pertemuan dua tahap itu secara terbuka. Tidak heranlah, jika keadaan menjadi bergantung pada kejelian para pengamat. Bagi mereka yang jeli tentu mengetahui maksud saya, atau setidak-tidaknya dapat menerima gagasan itu dengan “modal integritasnya”. Mereka yang tidak jeli, segera menuduh saya mengandung maksud-maksud tertentu yang umumnya berupa anggapan saya hanya menguntungkan golongan sendiri.
Sedikit sekali para pengamat yang memiliki kejelian dan sanggup menerima pendapat itu. Karenanya, tak heranlah jika ada tuduhan saya memiliki maksud-maksud sendiri dalam menawarkan gagasan di atas. Sayangnya, pendapat inilah yang tampaknya merupakan dominasi para pengamat atas pers Indonesia. Sama sekali diabaikan kemungkinan mantan Presiden Soeharto masih memiliki kekuatan, dalam bentuk para pengikut yang memiliki kesetiaan tak terbatas pada dirinya. Kekuatan inilah yang harus diperhitungkan dapat menggagalkan sebuah “dialog nasional”. Karenanya, harus lebih dahulu dispesifikasi terhadap kelompok ini dan tidak dapat dibenarkan pengabaian atas kehadirannya.
Dengan melihat kenyataan di atas, tidak heran jika sebagian pengamat menyalahkan saya terlalu memberikan tempat pada mantan Presiden Soeharto. Mereka bahkan menganggap tindakan saya itu sebagai sikap tidak konsisten.
Timbul pertanyaan dalam hati saya: sudah benarkah tindakan mereka itu? Inilah yang sebenarnya inti persoalannya. Bukankah seseorang dapat menudingkan jari pada orang lain sebagai menguntungkan pihak sendiri, sedangkan ia sendiri yang memiliki keinginan seperti itu. Atau setidak-tidaknya, memelihara kedudukan (standing)-nya di lingkungan gerakan tersebut. Apalagi jika menggunakan kata-kata yang tidak pantas seperti killing ground, destroyer, bahkan yang paling menyeramkan adalah sebagai ‘pelenyap’ (un-nihilator)? Timbul pertanyaan lain dalam diri saya, mungkinkah hal-hal seperti ini dihilangkan di masa yang akan datang? Jawabannya: mungkin saja, ketika berbagai pihak itu menyadari kesalahan masing-masing tanpa kecuali, dan atas dasar itu melakukan perbaikan-perbaikan.
Alternatifnya memang cukup berat: bangsa kita akan tetap begini saja, yaitu tidak mengalami proses pendewasaan. Dengan kata lain kita akan tetap menjadi bangsa kekanak-kanakan, yang terasa sangat menyedihkan. Judul tulisan ini, baru dapat dipahami dalam kerangka pemikiran di atas. Apa yang tidak terjadi sejauh ini, yaitu langkanya pertemuan mantan Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Menhankam/Pangab Wiranto, dan saya, ternyata membawakan faedah terasanya keperluan itu di kemudian hari. Yaitu, bahwa perlu ada pertemuan pemimpin formal pemerintahan dan pemimpin informal di luarnya apabila kita menginginkan bangsa ini tetap jaya dan memiliki kekuatannya sendiri.
Bukankah ini syarat mutlak bagi proses pendewasaan sebuah bangsa? Jawabannya, terserah pada kita semua, anak-anak bangsa kita sendiri.