Pilih Tegang atau Santai-Santai Saja
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Memasuki 1997 terdapat dua buah orientasi yang sedang berbenturan. Secara analitis kita dapat melihat dua pola. Pola pertama adalah untuk menjadikan Islam sebagai bendera politik. Pola kedua adalah pola yang menjadikan Islam sebagai kekuatan sosial-kultural.
Mengapa kedua orientasi berbenturan? Ya, karena hakikatnya politik selalu begitu, kalau saya menolak duduk dalam organisasi yang berpolitik aliran walaupun saya pernah ditawari posisi yang strategis. Karena saya mengetahui persis posisi NU. NU adalah kekuatan politik atau ormas yang tidak perlu dilayani oleh aspirasi politik aliran. Bahkan NU dari hasil dua kali muktamar di Situbondo (1984) dan Krapyak (1989) justru harus mengintegrasikan diri dalam alur besar dari kehidupan politik kita, yaitu dealiranisasi politik yang sampai kini belum tuntas dilaksanakan.
Tentu tidak dapat diharapkan bahwa perbenturan itu akan terjadi secara linier. Ada upaya-upaya untuk mempengaruhi dalam pengambilan keputusan di tingkat elite. Setidaknya ada kebutuhan-kebutuhan untuk memberikan masukan-masukan, kalau tidak ikut serta dalam tahap awal pengumpulan pendapat. Karena sistem kita adalah konsensus.
Nah supaya “warna Islam” tidak hanya diwakili oleh kelompok Islam sebagai bendera politik, maka pihak “Islam sosial-budaya” harus memuat dirinya terdengar di sana.
Maka, perbenturan di semua lini atau semua lapisan tidak dapat dihindari. Kalau sudah terjadi perbenturan, maka ada pengorganisasian. Kalau ada pihak yang tidak dapat menggerakkan massa, misalnya, akan berusaha menetralisasi kekuatan pihak lawan. Karena itu, saya melihat adanya kemungkinan kerusuhan-kerusuhan di daerah-daerah berbasis anggota NU memang sengaja dibuat secara luas, dengan tujuan untuk menetralisasi pengaruh atau kekuatan dari massa NU. Diterima atau tidak analisis politik ini oleh pihak lain tidaklah relevan. Analisis saya ini dimaksudkan untuk melakukan identifikasi siapa-siapa yang sedang saya hadapi, siapa-siapa yang paling mungkin melakukan netralisasi terhadap kekuatan massa NU. Proses itu wajar terjadi karena kedua orientasi itu mengadakan reaksi dan kontrareaksi.
Yang kedua, di dalam ABRI ada pergantian generasi dari dua orientasi. Kita akui ABRI kita adalah ABRInya rakyat. Ciri tentara rakyat adalah para pemimpinnya mempunyai ambisi-ambisi politik pribadi yang kuat. Ini di mana saja terjadi. Karena para pemimpin mempunyai ambisi-ambisi politik pribadi yang kuat, maka selalu terjadi tarik urat di dalam. Tentu ini tidak menguntungkan pekembangan ABRI apabila dilihat dari kebutuhan tentara yang utuh dan modern.
Sebenarnya telah lama ada keinginan untuk menerapkan profesionalisme di jajaran ABRI. Upaya ini berjalan di tahun 1980-an tapi, hasil kerja profesionalisasi yang dilakukan para pemimpin ABRI kala itu belum muncul. Karena yang dididik waktu itu kini baru berada di eselon kedua pimpinan ABRI. Di eselon pertama masih dipenuhi oleh generasi yang memiliki ambisi politik perorangan yang kuat. Kedua kelompok ini akan berhadapan dalam kecenderungan politik di dalam ABRI. Perbenturan itu akan terlihat dalam menangani masalah. Kita akan melihat proses tarik-menarik antara dua orientasi dalam ABRI ini.
Lalu mana yang menang antara kelompok “Islam politik” dan “Islam sosial budaya” ini. Juga di ABRI, mana yang dominan antara keinginan untuk meneruskan pola ambisi politik perorangan ataukah keinginan untuk membina kolektivitas dalam watak kohesif dari ABRI sebagai kelompok profesi.
Kita tatap tahun 1998. Kalau saja yang berkembang adalah koalisi antara kelompok ABRI yang mempunyai kepentingan politik perorangan dengan kelompok “Islam berbendera politik”, maka jelas suasana politik yang terjadi akan begitu tegang, karena adanya titik temu antara kepentingan politik perorangan para perwira tinggi dengan kepentingan yang ingin melakukan dominasi atas lembaga-lembaga politik yang ada. Dengan kata lain, jalannya SU MPR akan penuh ketegangan.
Sebaliknya kalau yang dominan adalah kelompok militer profesional, yang tidak mementingkan ambisi politik perorangan, mereka akan wait and see, terserah para anggota MPR mau mencalonkan siapa. Ini juga sama dengan yang dilakukan “Islam sosial budaya”. Mereka tidak akan ambil pusing siapa yang akan menjadi presiden. Tidak masalah, diganti atau tidak, asal konstitusional. Andaikan terjadi seperti ini, suasana SU MPR akan santai-santai saja, tidak ruwet. Nah, pilih mana?